30 April 2011

Riau Jadi Tuan Rumah Islamic Solidarity Games

Riau Jadi Tuan Rumah Islamic Solidarity Games, Gubernur Rusli Zainal menyerahkan cenderamata dari Riau kepada Executive Vice President dan Chief Executive Bureau, Prince Faisal Fahd Abdul Aziz, disaksikan Menpora Andi MallarangengJEDDAH - Islamic Solidarity Sport Federation (ISSF) telah menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Islamic Solidarity Games (ISG) III, dan Riau dipercaya sebagai host city atau kota penyelenggaranya. ISG akan mempertandingkan 15 cabang olahraga yang diikuti 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) se-dunia.

Lantas, mengapa harus Indonesia, dan mengapa Riau? Berikut hasil wawancara wartawan, Afni Zulkifli, dengan Gubernur Riau Rusli Zainal (RZ) dan Menpora Andi Mallarangeng (AM), di Jeddah Conference Palace, Kamis (28/4) siang, waktu setempat, sesaat menjelang penandatanganan Host Country Aggreement bersama Executive Vice President dan Chief Executive Bureau, Prince Faisal Fahd Abdul Aziz:

Mengapa harus Indonesia dan mengapa harus di Riau?
Andi Mallarangeng (AM): Penetapan Indonesia menjadi tuan rumah ISG ke III, dibicarakan jauh sebelum saya menjadi Menpora. Kita semakin optimis siap menjadi tuan rumah, karena Indonesia negara Islam terbesar di dunia. Momen ini juga dinilai tepat, karena bersamaan dengan Indonesia sebagai Ketua ASEAN, penyelenggara SEA Games 2011 dan juga anggota G-20. Lalu mengapa harus di Riau? Karena tahun 2012 Riau menggelar PON XVIII. Kita melihat venues dan infrastruktur lainnya di Riau sangat memadai. Banyak provinsi lain datang menyatakan kesiapan, namun kita yakin Riau yang paling siap. Lagipula, sejak zaman orde baru, event nasional dan internasional selalu di sekitar wilayah Jawa. Saatnya kita sebar event-event ini ke luar Jawa. Ini mungkin masanya Sumatera, setelah SEA Games 2011 di Palembang. Namun bukan tidak mungkin menyebar hingga ke Indonesia Timur.

Rusli Zainal (RZ): Riau menyatakan kesiapan karena bagi kita ini kehormatan yang dipercaya negara untuk daerah. Kita siap, karena memang semua venues untuk PON juga hampir siap. Dengan sisa waktu yang ada, kita optimis mampu menggelar event berkelas internasional.

Apa untungnya bagi Indonesia dan Riau?
AM: Indonesia akan semakin memperkuat perannya di tingkat internasional. Ini juga menjadi wadah pembinaan bagi atlet-atlet kita. Sekitar 10 ribu orang akan datang ke Indonesia, khususnya ke Riau. Artinya, pasti akan ada pembangunan yang riil juga untuk rakyat Riau. Ini kesempatan emas menuju Indonesia Emas. Kita harus merasa bangga, karena lagu Indonesia Raya bisa berkumandang dan bendera Indonesia bisa berkibar di tingkat internasional (sebelumnya) hanya karena dua hal saja. Pertama karena kunjungan kenegaraan presiden, dan kedua karena ada atlet kita menang di event internasional.

RZ: Bukan hanya dari segi infrastruktur yang akan dimiliki Riau, tapi dampak ke sosial-ekonomi masyarakat akan terasa. Akan terbangun stadion olahraga berkelas internasional, perumahan atlet di setiap kampus, pembukaan akses jalan, hotel berbintang sampai kelas melati akan penuh, rumah makan dan pariwisata juga kena dampak positif. Riau bukan hanya akan menjadi perhatian nasional, tapi juga internasional. Kita punya kesempatan mengembangkan daerah dan mempromosikan potensi ekonomi, sumber daya dan budaya yang kita miliki selama ini.

Menggelar event internasional, artinya harus memiliki venues dan fasilitas berstandar internasional pula. Siapkah Riau menjadi host city ISG yang berkelas dunia?

AM: Karena Riau sudah menjadi tuan rumah PON XVIII tahun 2012, saya yakin Riau akan sangat siap. Dari segi anggaran, penyelenggaraan ini juga (menjadi) tanggungjawab pemerintah pusat. Justru karena sudah ada fasilitas, maka sebenarnya Indonesia khususnya Riau, hanya tinggal menyelenggarakannya saja. Tidak butuh banyak anggaran lagi. Ini yang membedakan Riau dengan provinsi lainnya yang juga menawarkan jadi tuan rumah ISG.

RZ: Memang ada beberapa venues yang belum berstandar internasional. Tapi saya yakin, Riau masih punya banyak waktu. Justru event ISG ini menjadi pembuka jalan bagi Riau (dalam) meningkatkan infrastrukturnya. Baik dari (segi0 bandara, jalan, dan fasilitas publik lainnya. Ini menjadi sangat penting, karena Riau berada di pintu gerbang negara-negara internasional lainnya.

Setelah SEA Games dan ISG, apa sebenarnya target atau harapan yang ingin dicapai oleh Indonesia dan Riau, khususnya di bidang olahraga?
AM: Kita ingin olahraga kita bangkit, seiring dengan kebangkitan ekonomi nasional saat ini. Bukan hal yang mustahil, mimpi kita untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia akan menjadi kenyataan. Semakin banyak event internasional sukses digelar di Indonesia, maka semua mimpi-mimpi itu pasti akan tercapai.

RZ: PON dan ISG tentu bukan (event) seremonial biasa. Di balik semua itu, kita ingin menyampaikan pesan, menunjukkan prestasi dan kemampuan yang kita miliki. Apalagi selama ini, Riau selalu dikait-kaitkan dengan mitos atau imej sebagai daerah illegal logging atau penghasil asap. Semua itu tentu tidak benar. Justru kita punya banyak potensi daerah yang bisa dibanggakan. Buktinya akan kita tunjukkan dengan menjadi tuan rumah yang baik pada PON 2012 dan ISG 2013.

Sumber: JPNN

07 April 2011

Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau

Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau

Corak dan Ragi Tenun Melayu RiauMasyarakat Melayu, khususnya Melayu Riau, amat kaya akan khazanah kebudayaan. Di antara kekayaan budaya itu adalah tenun Melayu dengan aneka corak (motif) dan raginya (desain) yang memiliki makna filosofis yang dalam. Sejak masa Kerajaan Johor-Riau dan Riau-Johor (1511-1787), tradisi bertenun sudah tumbuh subur di tengah Masyarakat Riau. Secara umum, di daratan pulau Sumatera, aktivitas bertenun berkembang sejalan dengan kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu daratan, seperti Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Indragiri (1658-1838), dan Kerajaan Siak Sri Indrapura (1723-1858).

Seni tenun dalam masyarakat Melayu Riau layaknya bunga, buah dan taman kreativitas yang simultan. Karya seni ini merupakan salah satu karya yang unik dan mengagumkan, karena disamping menggambarkan kearifan, kreativitas dan kemajuan masyarakat setempat, juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai agama dan kebudayaan lokal mengarahkannya menjadi simbol-simbol dalam bentuk busana yang melambangkan kemuliaan pemakainya.

Kehormatan seseorang, diantaranya dilihat dari model busana yang dikenakan. Di sini busana, dalam taraf tertentu, menjadi alat identifikasi moralitas, karakter dan bahkan status seseorang atau kelompok. Bagi masyarakat Melayu, pakaian tidak semata-mata berfungsi untuk melindungi tubuh dari panas dan hujan, lebih dari itu pakaian berfungsi untuk menutup malu, menjemput budi, menjunjung adat, menolak bala, dan menjunjung bangsa. Karenanya, busana tak hanya bernilai pragmatis, tetapi juga bernilai religius, adat dan kultural, etis dan estetis.

Busana Melayu harus memiliki kualitas “seri gunung dan seri pantai”, artinya pakaian harus indah dilihat dari jauh dan cantik dipandang dari dekat, bagus dipandang oleh mata dan elok ditilik mata hati. Dengan kriteria itulah pakaian Melayu memiliki kualitas “sadu perdana” yang bernilai “tujuh laksana”, atau kecantikan kelas satu yang layak diberikan nilai tujuh bintang.

Berbagai macam corak dan ragi cita rasa seni masyarakat Melayu Riau biasanya dituangkan dalam ukiran (pada kayu, perunggu, emas, perak dan suasa), tenunan (pada tenun siak, bukit bata, daik lingga, pelalawan, indragiri, lintang siantar), sulaman, tekat, suji, dan anyaman. Bentuk dan coraknya merupakan stilisasi dari flora (bunga, kuntum, buah, daun, dan akar-akaran), fauna (jenis unggas, serangga, hewan melata, hewan buas, dan hewan air), alam (benda-benda angkasa), dan bentuk-bentuk tertentu (segi penjuru empat, segi penjuru lima, segi penjuru enam, segi tiga, segi delapan, segi panjang, bulat penuh, bujur telur, lengkung anak bulan, lentik bersusun, kaligrafi, dll).

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, setiap corak dan ragam hias tenun Melayu Riau mengandung makna filosofis tertentu. Nilainya mengacu pada sifat-sifat asal setiap benda yang dijadikan corak, kemudian dipadukan dengan nilai-nilai kepercayaan dan budaya lokal serta nilai-nilai luhur agama Islam, seperti nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah, kerukunan, kearifan, kepahlawanan, kasih sayang, kesuburan, tahu diri, tanggung jawab, dan lain sebagainya.

Corak Pucuk Rebung dengan variasi Pucuk Rebung Kuntum Mambang, misalnya, bermakna menumbuhkan optimisme pada diri orang Melayu, sebagaimana tertuang dalam sebuah ungkapan: pucuk rebung kuntum mambang//cahaya bagai bulan mengambang//hilang raga lenyaplah bimbang//bagaikan bunga baharu berkembang. Contoh lain misalnya pada corak Bunga Cengkeh dengan variasi Bunga Cengkeh Bersusun. Makna tersirat dari corak ini seperti digambarkan dalam pantun berikut ini:

hiasan bunga cengkeh bersusun
dipakai orang di mana saja
harum nama bersopan santun
perangai terbilang hati mulia

Dengan mengacu pada nilai-nilai luhur seperti itulah, corak tenun mendapatkan tempat dalam masyarakat Melayu, digemari dan dibanggakan sebagai salah satu warisan turun temurun dari kegemilangan tamaddun Melayu di masa lampau.

Aneka corak, makna filosofis dan fungsi tersebut di atas dijelaskan secara lebih rinci dan mendalam oleh buku Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau ini. Buku yang ditulis oleh empat pengkaji kebudayaan Melayu tersebut juga menerangkan cara pembuatan tenun dan berbagai hal yang berkaitan dengan proses pembuatannya. Pada bab terakhir dari buku ini pembaca dapat menikmati keindahan sekitar 130 gambar-gambar eksklusif berbagai corak tenun dan ragam hias Melayu Riau yang disertai keterangan makna filosofis masing-masing corak. Buku ini tentu saja sangat penting bagi mereka yang punya perhatian terhadap kelestarian budaya Melayu, terutama seni tenun.

Judul Buku : Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau
Penulis : Abdul Malik, Tenas Effendy, Hassan Junus, dan Auzar Thaher
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/80/Corak-dan-Ragi-Tenun-Melayu-Riau

06 April 2011

Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Melayu

Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu

Ungkapan Dalam Upacara Perkawinan Orang MelayuKebudayaan Melayu sarat muatan dengan kesusastraannya, baik sastra lisan maupun sastra tulisan. Sastra lisan mengambil bagian terbesar. Kepandaian masyarakat Melayu dalam merajut dan merangkai ungkapan seperti pantun dan syair menjadi bukti sejarah bahwa kebudayaan Melayu menjadi besar berkat kesusastraanya, khususnya budaya lisan. Peribahasa, pantun, ataupun syair merupakan ungkapan sehari-hari yang bernilai sangat penting ketika diadakan sebuah majelis adat.

Kandungan dari ungkapan tersebut semakin beranekaragam dengan perpaduan nilai-nilai agama, budaya, dan norma sosial. Selain dari itu, ungkapan bagi masyarakat Melayu banyak terkandung nilai-nilai nasehat dan tunjuk ajar yang khas dan bernas. Sehingga, pemakaiannya selalu lestari dan terealisasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam upacara adat dan tradisi budaya Melayu lainnya, misalnya ungkapan dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu, sebagaimana diulas dalam buku Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu karya Tenas Effendy.

Upacara perkawinan bagi manusia pada dasarnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, bukan pula sekadar peristiwa alamiah-naluriah semata, karena manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk apapun di dunia. Upacara perkawinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama, moral, sosial, dan budaya. Maka dari itu, petuah atau nasehat selalu diberikan pada mempelai guna mempersiapkan diri dalam mengarungi samudera rumah tangga. Keindahan upacara perkawinan akan bertambah jika diiringi rancak upacara dan kerangian adat resam yang menyertainya.

Perkawinan dalam adat Melayu memiliki ciri khas tersendiri, yakni dalam pemakaian ungkapan. Seperti halnya upacara perkawinan adat lainnya, upacara perkawinan dalam masyarakat Melayu tidak terlepas dari tahapan-tahapan ritual khusus. Pada setiap tahapan ritual itu pemakaian ungkapan tertentu digunakan, yaitu ungkapan yang selaras dan sesuai dengan tahapan-tahapan yang dimaksud. Sebagai contoh, ungkapan yang digunakan ketika kedua pengantin sudah duduk bersanding adalah sebagai berikut:
Encik-encik Puan-puan Tuan-tuan Para jemputan yang kami mulyakan Alhamdulillah, Di atas pelaminan telah bersanding kedua pengantin Bagaikan balam dua setengger Bagaikan pinang pulang ke tampuk Bagaikan sirih pulang ke gagang Bagaikan keris pulang ke sarungnya Kalau disukat sama banyaknya Kalau ditimbang sama beratnya Kalau diukur sama panjangnya Kalau ditaksir sama harganya Umpama emas sama beratnya Umpama intan sama mulyanya Sama setara duduk tegaknya Sama sebanding asal usulnya

Masih banyak contoh lain yang dihadirkan dalam buku ini perihal sistematika pemakaian dan pemilihan ungkapan tersebut. Ungkapan yang digunakan memang mengiringi tahapan ritual yang tidak hanya indah didengar, tetapi juga berisikan petuah, nasehat, dan tunjuk ajar yang berguna bagi kedua mempelai, keluarga keduanya, atau bagi siapapun yang hadir dalam rangkaian upacara tersebut. Orang tua-tua melayu mengatakan, “melalui ungkapan, banyak makna yang tersimpan; di dalam pantun, banyak makna yang terhimpun; di dalam pepatah benaklah faedah; di dalam bidal, banyaklah berkah; di dalam ibarat, banyak isyarat; di dalam perumpamaan, banyak pedoman; di dalam gurindam, banyak rahasia terpendam; atau di dalam kata banyak makna”.

Hal yang terpenting dari pemakaian ungkapan adalah saat kata sambutan atau biasa disebut dengan kata alu-alunan. Menurut Tenas, kata alu-alunan amatlah penting karena di dalamnya tersimpul segala inti dari pelaksanaan upacara yang dilakukan. Di dalam kata alu-alunan itulah disampaikan isi hati yang punya hajat serta ucapan puja-pujinya kepada seluruh jemputan (hlm. 27).

Selain berisikan ungkapan, buku ini ini juga memuat ringkasan tentang rangkaian upacara perkawinan yang meliputi menggantung-gantung, berinai, berandam, khataman Qur‘an, akad nikah, upacara langsung, malam keluarga, dan upacara mandi damai.

Tradisi upacara perkawinan dalam adat Melayu sungguh sangat beragam dan khas. Hal inilah yang mendorong Tenas Effendy, seorang budayawan Melayu, untuk merangkum berbagai rangkaian tahapan ritual dan pemakaian ungkapan dalam upacara perkawinan adat melayu melalui karyanya tersebut.

Upaya untuk mengangkat ungkapan yang ada dalam khazanah budaya Melayu umumnya dan dalam upacara perkawinan Melayu khususnya, diharapkan dapat dijadikan referensi bagi sejumlah masyarakat Melayu yang kurang memahami dan menguasai bentuk ungkapan tersebut. Dengan demikian, diharapkan pula bahwa pemakaian uangkapan tersebut tetap hidup dan kekal dalam khazanah budaya Melayu.

Dari sisi lain, Tenas Effendy berharap kepada generasi muda melayu tidak melunturkan jati diri kemelayuannya seiring dengan laju perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya, yang menyebabkan orang melayu tercabut dari akar budayanya sendiri. Dengan kata lain, diharapkan generasi muda melayu dapat tumbuh menjadi generasi muda yang handal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetapi juga memiliki jati diri kemelayuan yang kental, karena budaya melayu adalah budaya yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan zaman.

Setidaknya, kehadiran buku ini menjadi dokumentasi yang teramat penting bagi tamadun Melayu yang dulu sempat berjaya dan telah mengisi peradaban manusia di dunia ini.

Oleh : Muhammad Syukur

Judul Buku : Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu
Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/74/Pemakaian-Ungkapan-dalam-Upacara-Perkawinan-Orang-Melayu

05 April 2011

Rumah Adat Melayu

Rumah Melayu: Memangku Adat, Menjemput Zaman

Rumah Adat MelayuSeni bina pada setiap kebudayaan biasanya memiliki ciri khas. Kekhasan tersebut berkaitan dengan fungsi bangunan, model, ornamen dan makna simbolik yang dikandung oleh setiap elemen bangunan.Dalam budaya Melayu, seni bina tersebut juga memiliki ciri khas yang terefleksi pada simbol-simbol bangunan yang sarat makna.

Saat ini, bangunan-bangunan yang berarsitektur Melayu masih dapat ditemui di beberapa daerah di Nusantara, Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam dan negara rumpun Melayu lainnya, namun, yang masih bisa dinikmati kekhasannya hanyalah tempat-tempat ibadah, misalnya Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau; Masjid Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari, di Indradiri Hilir, Riau; dan Masjid Lama Kraton Melayu Sambas, Kalimantan Barat.

Sedangkan bangunan tempat tinggal sudah sangat jarang dijumpai, kalau pun ada, hanyalah tinggal istana-istana kerajaan yang jarang mendapat perhatian. Kondisi di atas mungkin bisa dimaklumi, karena perubahan zaman memang tidak dapat dielakkan lagi.

Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi telah mempengaruhi perkembangan kebudayaan, termasuk kebudayaan Melayu. Akibatnya, rumah Melayu tradisional kemudian semakin ditinggalkan, sebagai gantinya, kemudian tumbuh berkembang rumah Melayu modern yang menggunakan arsitektur dan bahan bangunan yang berbeda.

Meskipun demikian, perubahan model arsitektur dan bahan bangunan dalam rumah Melayu modern, tidak sampai mengubah makna dan nilai simbolik yang terkandung dalam rumah Melayu tradisional.

Dengan demikian, adat dan nilai tetap dijunjung, walau zaman telah berubah. Itulah yang dimaksud oleh Mahyudin Al Mudra dengan “memangku adat menjemput zaman” dalam bukunya: Rumah Melayu: Memangku Adat, Menjemput Zaman.

Dalam buku ini, Mahyudin membedah secara luas dan mendalam simbol-simbol dan nilai yang terkandung dalam arsitektur rumah Melayu. Dalam masyarakat tradisional Melayu, rumah memiliki arti yang penting, bukan saja sebagai tempat tinggal di mana seseorang atau satu keluarga melakukan kegiatan hariannya, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup.

Maka dari itu, pembangunan rumah selalu dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan segala unsur unsur-unsur perlambangan yang merupakan refleksi nilai budaya.Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka sebuah rumah diyakini akan menjadi suatu ruang yang membawa kebahagiaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan masyarakat sekitarnya.

Dalam masyarakat Melayu tradisional, rumah merupakan bangunan utuh yang dapat dijadikan tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, tempat berlindung bagi siapa saja yang memerlukan. Oleh sebab itu, rumah Melayu tradisional umumya berukuran besar, biasanya bertiang enam, tiang enam berserambi dan tiang dua belas atau rumah serambi.

Selain berukuran besar, rumah Melayu juga selalu berbentuk panggung atau rumah berkolong, dengan menghadap ke arah matahari terbit. Secara umum, jenis rumah Melayu meliputi rumah kediaman, rumah balai, rumah ibadah dan rumah penyimpanan. Penamaan itu disesuikan dengan fungsi dari setiap bangunan.

Yang paling menarik dari arsitektur rumah Melayu ialah simbol-simbol yang terdapat pada bagian-bagian rumah; atap, tiang, tangga, pintu, jendela, dinding, dan lain sebagainya. Dan, terdapat pula beberapa macam arsitektur untuk setiap bagian rumah yang memiliki arti tersendiri. Misalnya atap lontik. Atap lontik ini berciri kedua perabungnya melentik ke atas, yang melambangkan bahwa pada awal dan akhir hidup manusia akan kembali kepada penciptanya.

Sementara lekukan pada pertengahan perabungnya melambangkan ‘lembah kehidupan‘ yang terkadang penuh dengan berbagai macam cobaan (h.38). Simbol-simbol itu biasa diiringi dengan ornamen yang khas dan memiliki makna tertentu pula, dan ada kalanya juga dihiasi dengan kaligrafi Arab.

Bisa dikatakan, hampir seluruh elemen yang ada dalam rumah Melayu mengandung nilai budaya. Misalnya, kamar dara yang terletak di atas loteng atau para-para dengan jalan masuk dan keluarnya dari ruang tengah, dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dan mengontrol perilaku si anak dara.

Hal ini sangat penting dilakukan, karena sifat, sikap dan perilaku anak dara tersebut berkaitan dengan kehormatan serta harga diri keluarga (h.80). Hal ihwal dan detail tentang rumah Melayu cukup terangkum dalam buku ini.

Selain itu, penulis buku ini juga memberikan gambar-gambar untuk melengkapi setiap uraiannya. Buku yang berisikan lima puluh gambar arsitektur Melayu ini, dedikasikan untuk melestarikan dan mengembangkan arsitektur Melayu yang sarat dengan muatan simbol dan pandangan hidup.

Bagian lain yang paling menarik dalam buku ini ialah, uraian tentang bagaimana mempertahankan simbol-simbol pada rumah Melayu tradisional dalam arsitektur rumah Melayu modern.

Contoh dari usaha tersebut adalah rumah Melayu modern yang dibangun Mahyudin di Yogyakarta. Walaupun rumahnya modern, tapi simbol dan nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam rumah Melayu tradisional tetap ia pertahankan. Setidaknya, kehadiran buku yang mendapatkan anugerah ‘Sagang Award‘ tahun 2003 ini dapat menjadi panduan bagi orang Melayu dalam merancang bagunan yang besendikan nilai kemelayuan di zaman modern.

Judul Buku : Rumah Melayu: Memangku Adat, Menjemput Zaman
Penulis : Mahyudin Al Mudra
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/44/Rumah-Melayu:-Memangku-Adat--Menjemput-Zaman

04 April 2011

Tunjuk Ajar Melayu

Tunjuk Ajar Melayu

Tunjuk Ajar MelayuKebudayaan Melayu sarat muatan kesusastraan, dan sastra lisan mengambil bagian terbesar setelah sastra tulis. Sastra lisan orang Melayu dikenal cukup indah dengan pilihan kata dan susunan kalimat yang elok. Ungkapan-ungkapan indah tersebut, biasanya dalam bentuk pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dsb, yang sering diselipkan dalam bahasa komunikasi sehari-hari. Banyak di antara ungkapan-ungkapan indah tersebut mengandung petuah, nasehat, petunjuk dan contoh teladan, karena itu, sering digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan. Di kalangan orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan yang mengandung petuah dan nasehat disebut juga dengan tunjuk ajar.

Menurut orang tua-tua Melayu, sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan.

Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. (h.207) Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang. (h.262)

Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.

Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri.

Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu.

Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.

Judul Buku: Tunjuk Ajar Melayu
Penulis: Tenas Effendy
Penerbit: BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/42/Tunjuk-Ajar-Melayu

03 April 2011

Redefinisi Melayu

Redefinisi Melayu: Perjuangan Tanpa Akhir

Redefinisi MelayuPengertian Melayu seringkali dipahami dengan cara pandang yang sempit sehingga membentuk pemikiran dan pengertian yang terkungkung dalam lingkaran parsial. Istilah Melayu pada akhirnya kerap ditinjau lewat sudut pandang tertentu, bahkan oleh kalangan ilmuan dan orang Melayu sendiri, yang nyaris selalu didefinisikan melalui sekat-sekat perspektif, termasuk lewat pandangan linguistik, politik, geografi, etnik, dan agama. Salah kaprah dalam memaknai Melayu inilah yang kemudian justru membuat kebesaran rumpun Melayu semakin lama semakin tergerus dan kian lirih gaungnya.

Kejayaan Melayu sebagai salah satu rumpun bangsa yang besar di jagat raya ini seolah-olah lenyap tanpa bekas, tenggelam di tengah riuh-rendah persaingan peradaban di bumi, terasing dari gegap-gempita semesta. Hal ini disebabkan oleh efek eksklusifitas yang berdampak pada kecongkakan etnis/suku bangsa tertentu dan memecah-belah serta menempatkan bangsa-bangsa Melayu serumpun ke dalam kotak-kotak yang berdiri sendiri-sendiri. Melayu tidak lagi dipandang secara utuh melainkan diartikan dengan subjektif atas nama kepentingan masing-masing etnis/bangsa yang merasa “memiliki” hak membawa nama rumpun Melayu dengan congkak dan angkuh.

Mahyudin Al Mudra berusaha melakukan upaya pencerahan agar bangsa Melayu tidak melupakan asal-usul dan nenek-moyangnya. Di bagian awal dari buku ini, Mahyudin Al Mudra menjelaskan fase-fase perjalanan bangsa Melayu dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum Islam datang dan menebar pengaruh.

Dalam buku ini, Mahyudin Al Mudra memaparkan kenyataan bahwa bangsa Melayu adalah bangsa yang sudah tua, bangsa yang sudah ada sejak zaman purbakala, tepatnya sejak tahun 3000 Sebelum Masehi. Kenyataan bahwa bangsa Melayu telah ada sejak zaman pra Hindu-Buddha, kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai penjuru dunia merupakan alasan www.MelayuOnline.com meredefinisikan Melayu berdasarkan kesamaan sejarah dan budaya, bukan atas dasar kepentingan politik, etnik, dan bahkan agama sekalipun.

Mahyudin Al Mudra mengakui, memang tidak mudah memberikan redefinisi Melayu yang dapat memuaskan semua pihak. Sejauh ini, upaya yang Mahyudin Al Mudra untuk meredefinisikan Melayu dan telah diwujudkannya dalam struktur dan isi dalam portal www.MelayuOnline.com dinilai oleh beberapa orang masih problematis. “Melalui www.MelayuOnline.com, saya meredefiniskan Melayu sebagai bangsa di manapun mereka berada yang pernah atau masih mempraktekkan budaya Melayu tanpa dibatasi sekat-sekat agama, ras, bahasa, geografi, dan afiliasi politik,” jelas Mahyudin Al Mudra (hal. 5).

Mahyudin Al Mudra menegaskan, upaya redefinisi Melayu bertujuan untuk mengakomodir dan menyatukan seluruh puak-puak Melayu di seluruh dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi, bukan untuk menambah daftar perbedaan definisi. Bangsa Melayu adalah manusia-manusia diaspora yang sering berkelana ke negeri-negeri lain. Gerak diaspora yang dilakukan oleh orang-orang Melayu itu mengemban peran penting dalam upaya penyebaran budaya Melayu. Maka tidak mengherankan bila puak-puak Melayu tersebar di berbagai tempat dan masih mengamalkan tradisi Melayu hingga saat ini.

Sebagian besar orang Melayu memang menghuni wilayah di sekitar Semenanjung Melayu. Dalam konteks negara dan bangsa saat ini, orang-orang Melayu itu berdiam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Namun, orang-orang Melayu yang hidup di luar areal Semenanjung Melayu juga tidak bisa diabaikan kemelayuannya. Orang-orang Melayu yang ada di Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Vietnam, Srilanka, Asia Selatan, bahkan Pulau Cocos dan Pulau Krismas di Oceania, serta Madagaskar, Afrika Selatan, dan Suriname, tidak berbeda dengan orang-orang Melayu Semenanjung. Semuanya masih terhimpun dalam satu rumpun, yakni rumpun bangsa Austronesia.

Upaya untuk mewujudkan redefinisi Melayu demi terciptanya kesatuan bangsa Melayu serumpun yang bebas dari segala bentuk kekangan parsial memang diperlukan kerja yang ekstra keras. Sudah saatnya bangsa Melayu sedunia dipersatukan agar bangsa Melayu lebih dikenal dunia global. Caranya adalah dengan bersama-sama membenahi pandangan tentang Melayu dengan membangun paradigma yang berbeda dalam tataran horisontal melalui perspektif yang tidak lagi sempit. Salah kaprah dalam kemelayuan harus diluruskan dengan mengembalikan perspektif asal-usul bangsa Melayu.

Perjuangan meredefinisi Melayu bisa dilakukan dengan memetakan serta mencari kelebihan dan kekurangan dengan tujuan memberi keleluasaan pada bangsa-bangsa Melayu untuk berkembang secara utuh. Dengan demikian, orang Melayu diharapkan akan terus belajar dalam melihat dan mengidentifikasi dirinya sendiri untuk kemudian bersiap memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia.

Penulis : Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
Editor : Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/122/Redefinisi-Melayu

02 April 2011

Kuliner Riau yang Memanjakan Selera

Kuliner Riau yang Memanjakan Selera


Dalam berbagai perhelatan jamuan, misalnya acara-acara spesial baik hari raya, hari ulang tahun, pernikahan, maupun acara-acara rutin bulanan seperti arisan, pengajian, atau pertemuan-pertemuan PKK, seringkali membuat kita kerepotan menetapkan masakan apa yang layak untuk disajikan. Makanan beratkah, ringan, atau kue-kue ala kadarnya? Bila waktu dan kesibukan tidak memungkinkan untuk memasaknya, acapkali kita mengambil cara paling praktis, yaitu angkat telepon dan memesan makanan yang kita butuhkan. Ini adalah cara instan paling praktis yang dilakukan hampir semua orang. Hanya dengan memencet nomor telepon, memesan makanan sesuai ‘kocek‘, dan tinggal menunggu hantaran. Kita hanya perlu menata perjamuannya agar terlihat cantik dan sedap dipandang.

Sayangnya, tidak semua event kita bisa mengandalkan jasa orang lain. Beberapa event menuntut kita untuk terampil mengolah makanan sendiri. Khusus perhelatan pada jamuan di hari lebaran, rasanya tidak mungkin mengandalkan katering untuk memesan makanan. Cara paling bijak dan hemat ialah membuka buku resep dan mulailah untuk memasak.

Buku Ragam Kuliner Riau tepat menjadi rujukan dan uji coba beragam masakan baru selera Melayu. Anda tak perlu bingung-bingung menyajikan masakan yang cocok dalam perhelatan besar, maupun acara-acara kecil seperti arisan, atau bahkan sekedar menghidangkan menu spesial bagi suami tercinta. Buku resep ini dapat dikatakan sebagai buku kumpulan resep masakan Melayu paling lengkap saat ini. Dengan tebal 321 halaman, buku ini memuat sebanyak 623 aneka resep yang terbagi dalam 13 kelompok menu.

Sebagai menu pembuka, tersaji aneka olahan nasi. Ada ”Nasi Briani”, “Nasi Lemak”, “Nasi Rendang”, “Nasi Tomat” dan sebagainya. Anda bisa memilih salah satunya untuk dihidangkan kepada keluarga, teman, atau rekan kerja. Sajian nasi yang paling terkenal di kawasan Melayu ialah nasi lemak. Namun, nasi lemak Riau ini ternyata berbeda dengan nasi lemak ala Malaysia atau Singapura.

Di Malaysia maupun Singapura, nasi lemak serupa dengan nasi rames yang disajikan terbungkus daun pisang, dimasak dengan santan, dilengkapi ikan goreng sebesar ibu jari, oseng-oseng tempe dan teri, serta separuh telur dadar atau ceplok. Rasanya pun tak jauh berbeda dengan nasi rames, namun lebih gurih karena dimasak dengan santan. Bahkan, kemasannya yang kecil mengingatkan kita pada ‘nasi kucing‘ ala Yogyakarta yang porsinya memang disesuaikan dengan porsi perut kucing. Paling tidak, cukuplah untuk sekedar mengganjal perut.

Berbeda dengan nasi lemak ala Malaysia maupun Singapura, nasi lemak ala Melayu Riau justru terbuat dari pulut (ketan) yang dimasak dengan santan dan disajikan dengan inti (olahan kelapa parut). Nasi lemak Melayu Riau ini pun tidak setiap saat dihidangkan. Ada momentum tertentu dalam pembuatan nasi lemak ala Riau ini, di antaranya ialah waktu menugal ladang.

Untuk melengkapi nasi pada jamuan spesial, beberapa menu khas Melayu Riau perlu kita pilih. Di antaranya terdapat aneka macam gulai. Ada resep ”Gulai Asam Pedas Baung”, ”Gulai Ikan Salai (asap) Semalam”, serta yang paling khas ialah “Rendang” Riau dengan beragam olahan yang rasanya tak jauh berbeda dengan rendang Padang. Jika khawatir dengan makanan berkolesterol tinggi, Anda dapat mencoba resep-resep olahan ikan yang dipanggang, dibakar atau dipepes, misalnya “Panggang Paluik Ikan Kepiyek”, “Sate Lilit”, atau “Palai (pepes) Ikan Patin”. Untuk menu-menu tersebut di atas, Anda dapat membuka halaman 13 sampai halaman 96.

Menu paling spesial dan banyak digemari di kawasan Melayu ialah olahan ikan patin. Anda tak perlu mengeluarkan kocek dalam jumlah besar untuk menikmati hidangan ikan patin sekelas restoran-restoran mahal. Cukup membuka halaman 75 di buku resep ini, dan cobalah untuk memasaknya. Dijamin rasanya tak kalah lezat dibandingkan dengan olahan tangan-tangan terampil para chef. Itu dikarenakan rasa ikan ini sangat lezat dibanding jenis ikan lainnya. Berikut resep ”Palai Ikan Patin” atau Pepes Ikan Patin dalam buku ini:

* 1 kg ikan patin
* 4 buah cabe merah
* 3 siung bawang putih
* 4 buah bawang merah
* 2 butir kemiri goreng
* 1 buah tomat potong
* 2 lembar daun salam
* 1 batang sarai
* garam secukupnya

Cara membuatnya pun cukup mudah. Ikan patin dibersihkan, beri garam sedikit dan air jeruk nipis. Diamkan + 10 menit. Kemudian, bumbu digiling halus, masukkkan daun salam, serai, tomat, aduk hingga merata. Ambil daun pisang, masukkan ikan dan bumbu lalu bungkus dan sematkan dengan lidi. Kukus selama + 25 menit, bakar sebentar, lalu hidangkan.

Bagi para vegetarian, berbagai varian olahan sayur bisa menjadi alternatif pilihan. Dalam buku ini, terdapat 34 macam ragam menu sayur-mayur dengan olahan yang sangat variatif, menyehatkan, dan bercita rasa khas Melayu. Ada ”Buntil Daun Talas” yang mirip dengan buntil ala Jawa Tengah, ”Doda Pucuk Ubi” yang mirip urap ala Jawa Timur, ”Sayur Santan Telor Pecah Daun Katu” yang dapat memperlancar ASI bagi ibu-ibu menyusui, serta olahan sayur lainnya. Untuk ibu hamil yang menyenangi makanan asam-asam, tersedia pula aneka asinan (hlm. 149). Jika Anda memiliki anak kecil yang mudah bosan dengan sayur-mayur, Anda dapat mengganti menu dengan mencoba aneka “Soto dan Sup Spesial”, atau sesekali memasak “Mie dan Bakso” (hlm. 121—146).

Apabila Anda penggemar sambal, buku ini menyajikan 21 aneka resep sambal mulai dari “Sambal Koboy Ikan Basa”, “Sambal Bilis” “Sambal Lado Terung Asam”, ”Sambal Poyah”, hingga Sambal Teri Terasi” yang aromanya sangat menggugah selera (hlm. 169—178). Beragam rasa dapat Anda coba, tapi yang paling mak-nyus ialah ”Sambal Teri Terasi”. Rasanya mantap sekali, campuran antara pedas, asin, dan manis bersatu-padu.

Setelah perut terasa kenyang dan mulut kepedesan, tidak sempurna rasanya jika tidak mencoba minuman khas Melayu Riau yang sangat populer, ”Laksamana Mengamuk”. Bahan-bahan dalam minuman terdiri dari buah kuini/ambacang yang dicincang, dicampur santan dengan sedikit garam dan gula. Rasanya sangat segar, apalagi jika disajikan dengan campuran es batu. Sebagai minuman spesial khas Melayu Riau, tak mengherankan jika minuman ini selalu disajikan dalam perhelatan dan perjamuan tingkat tinggi, seperti dalam pesta-pesta, perjamuan pejabat, hingga acara kenegaraan. Masih banyak variasi minuman lainnya dalam buku ini. Anda dapat membuka resep minuman di halaman 185 hingga 197.

Jika ingin menghemat uang dan agar anak-anak tidak sering jajan di luar rumah, maka Anda sangat dianjurkan untuk membuka halaman 201. Di halaman itu tersaji beragam resep kue atau dalam bahasa Riau disebut kuih muih. Ada 285 macam resep kue yang dapat dicoba. Ratusan jenis kue tersebut akan memanjakan selera Anda.

Sesungguhnya, resep-resep yang dimuat di buku ini umumnya berupa masakan/makanan suguhan harian yang dapat dijumpai di rumah-rumah, kedai, restoran, bahkan di hotel. Meski olahan dan cita rasanya mengikuti cita rasa lokal, namun terdapat pula masakan/makanan yang berasal dari tempat lain akan tetapi sudah menjadi menu sehari-hari di Riau. Tentunya, olahannya sudah berbeda dengan cara pengolahan dari daerah asalnya. Mak nyus-nya pun mengikuti selera lidah Melayu Riau yang tak lepas dari cita rasa asam-pedas.

Selain ibu rumah tangga, buku ini sengaja ditujukan untuk generasi muda agar mengenal ragam kuliner masakan Melayu Riau, sehingga tak tergiring oleh fenomena dan tren fast food atau masakan impor lainnya. Cita rasa masakan impor kontras dengan kuliner lokal yang kaya akan bumbu rempah-rempah. Itulah sebabnya, cita rasa masakan lokal Indonesia terasa lebih ”menggigit” dan menggungah selera. Selamat mencoba!

Penulis : Pengurus Tim Penggerak PKK dan PW BKMT Provinsi Riau
Penerbit : Tim Penggerak PKK Provinsi Riau dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Riau bekerjasama dengan BKPBM, Yogyakarta.
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/96/Kuliner-Riau-yang-Memanjakan-Selera

01 April 2011

Hikayat Hang Tuah Analisis Struktur dan Fungsi

Hikayat Hang Tuah Analisis Struktur dan Fungsi

Ketika kita membincangkan tema sastra, hal pertama kali yang teringat adalah pandangan Plato mengenai sastra. Menurut Plato, sastra hanyalah mimesis, tiruan atau gambaran dari kenyataan. Artinya, yang diekspresikan dalam karya sastra adalah kenyataan yang kurang, padahal yang ingin dicapai orang adalah ide-ide yang ada di balik kenyataan tersebut. Seniman itu – karena sifat pekerjaannya – demi keberhasilannya, terpaksa menonjolkan sifat-sifat rendah manusia. Seninya tidak bertujuan untuk menonjolkan segi rasional jiwanya, yaitu sifat manusia yang paling luhur. Jika seni bermaksud demikian, maka berarti seni hanya meningkatkan nafsu yang sebenarnya harus ditekan. Berdasarkan tiga keberatan di atas, maka sastra tidak perlu dipandang sungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran (D. Daiches, 1956).

Berbeda dengan Plato, Aristoteles memandang sastra secara lebih positif. Aristoteles menganggap bahwa sastra justru merupakan kegiatan utama manusia untuk menemukan dirinya di samping kegiatan lain seperti agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Karena itu, sastra layak untuk diapresiasi sehingga muncullah pemahaman atas karya sastra sebagai a unified whole. Artinya, bahwa seluruh bagian dalam karya sastra merupakan bahan organik pembangun hasil seni itu. Dalam mengkaji sastra, maka kajian struktur adalah penting untuk mengetahui arti keseluruhan karya sastra tersebut. Dalam konteks ini, maka sastra perlu untuk dikaji dan dipelajari.

Buku karangan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini adalah salah satu buku yang mencoba mengkaji salah satu karya sastra terbesar Melayu, yaitu Hikayat Hang Tuah (HHT), dari sisi struktur dan fungsi. Kajian struktur dan fungsi bertujuan untuk mencari unsur terdalam dalam sebuah karya sastra. Dalam bidang antropologi dan sastra, kajian ini banyak memakai epistimologi struktural fungsional. Seperti dikatakan oleh Prof.Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pengantar buku ini, buku karya Prof. Dr. Sulastin Sutrisno ini merupakan kajian sastra yang serius, namun sayangnya justru analisis tentang struktural fungsional itu sendiri tidak ada. Untuk itu, pembaca sebaiknya memahami dahulu apa itu struktural fungsional sebelum lebih jauh membaca buku ini.
Hikayat Hang Tuah dalam Kajian yang Sudah Ada

Hikayat Hang Tuah (HHT) dikenal sebagai salah satu karya sastra tradisional Melayu. HHT sudah dikenal sejak lama oleh para pengkaji sastra di dunia. HHT secara umum mengisahkan tentang sosok Hang Tuah. Hang Tuah adalah tokoh penting dalam alam pikiran orang Melayu. Ungkapan paling terkenal yang konon yang berasal dari Hang Tuah adalah “Tak Kan Melayu hilang di dunia”. Dalam HHT, Hang Tuah diceritakan berlayar mengelilingi dunia dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika. Berdasarkan perjalanan Hang Tuah inilah, puak-puak Melayu meyakini bahwa suku Melayu juga tersebar dari Indonesia hingga Madagaskar, Afrika.

Sebagai sebuah karya sastra Melayu, HHT telah menjadi bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik oleh ahli sastra dari luar maupun ahli dari puak Melayu sendiri. Kajian-kajian tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda-beda pula.

Nama HHT konon pertama kali didengungkan oleh pendeta Belanda yang bernama Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Niuews Oost-Indien (1726) yang terdiri dari tujuh jilid. Pada jilid V, dalam lukisannya tentang Malaka, dia menyebutkan sebuah karya Melayu yang indah yang bernama Hikayat Hang Tuah. Namun, dalam buku ini HHT disalahartikan dengan kitab Sulalatus Salatin (sultan-sultan Malaka), yaitu nama lain untuk Sejarah Melayu. Hal yang sama juga dilakukan oleh G.H. Werndly, seorang pendeta Swiss. Menurutnya, Hang Tuah adalah pengarang buku sejarah Melayu dan Iskandar Zulkarnain adalah nenek moyang raja-raja Melayu.

Pada tahun 1854, E. Netscher menolak anggapan tentang HHT sebagai karangan sejarah. Baginya, HHT adalah sebuah roman yang amat penting, yang menampilkan tata cara hidup Melayu beberapa abad yang lalu. Sementara itu, peneliti Inggris yang bernama John Eyden menyebut HHT sebagai roman sejarah yang di dalamnya fiksi dan data sejarah tercampur.

Dalam buku History of Indian Archipelago (1820), John Crawfurd menganggap HHT sebagai cerita yang tidak masuk akal dan kekanak-kanakan. HHT hanya bernilai ketika mengisahkan tentang budi pekerti dan cara hidup orang Melayu. Sementara itu, seorang ahli bahasa dan sastra Melayu dari Rusia yang bernama B. Parnickel, dalam buku An Epic Hero and: an Epic Traitor in the Hikayat Hang Tuah, menganggap HHT sebagai karya sastra hasil masyarakat feodal. Baginya, pada awalnya Hang Tuah adalah pahlawan rakyat yang membela kepentingan kalangan kelas menengah melawan Raja yang lalim. Buku tersebut kemudian jatuh ke tangan ke kelas feodal dan diubah sesuai kepentingan kaum feodal.

Dalam buku A study of Genre: Meaning and Form in The Malay Hikayat Hang Tuah (1975), dan dalam kertas kerjanya berjudul Some Comments on Style in The Meaning of The Past (1976), Erington memandang HHT sebagai sejenis karya sejarah dalam hal menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah, terutama adanya pengiriman utusan Melayu ke Rum untuk membeli senjata dan peristiwa penaklukan Malaka oleh Portugis.

Para peneliti dari puak Melayu memandang HHT dengan cara yang beragam pula. Sebagian besar menganggap karya ini sebagai karya fiksi. Pandangan ini disampaikan oleh Abdul Azis Mone (1972) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Kesusasteraan Indonesia Lama. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Abdul Ghani Suratman (1963) dalam buku Hikayat Hang Tuah dalam Bidang Sastera Melayu Lama, Anas Haji Ahmad (1962) dalam buku Kenapa Hikayat Hang Tuah bukan Satu Penulisan sejarah?, dan MD. Zahari bin Md. Zain (1970) dalam buku Persamaan dan Perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.

Ada pula peneliti yang memandang HHT sebagai karya sejarah. Pandangan ini diungkapkan antara lain oleh Abdul Khadi Ahmad 1963 dalam buku Hang Tuah Sebenarnya Ada Hidup - Buku Sejarah Melayu menjadi Buktinya, Ahmad Sarji Abdul Hamid (1960) dalam buku Hang Tuah dalam Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dan Abu Hasan Syam (1976) dalam buku Wanita dalam HHT: Imej Wanita dalam Hikayat Hang Tuah. Ada juga peneliti yang lain mengklasifikasikan HHT sebagai karya sastra dengan kategori “karya sastra lain”. Pandangan ini disampaikan oleh Abu Hasan Sham (1976) dalam buku Perbandingan antara Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Inderaputera dan Nilai-nilia Tradisional dalam HHT. Nilai-nilai Masyarakat Melayu Tradisional dilihat dari Hikayat Hang Tuah.

Kassim Ahmad dari Universitas Malaya dalam buku teks Hikayat Hang Tuah (1964) menganggap bahwa HHT bukan karya sejarah melainkan karya sastra Melayu asli yang melahirkan cita-cita dan kebesaran bangsa Melayu. Menurut Kassim Ahmad, pengarang HHT tidak mempedulikan tata tertib sejarah. Dia hendak menciptakan manusia Hang Tuah yang luar biasa.

HHT memang merupakan sebuah karya sastra yang besar dan penting untuk dikaji jika kita melihat berbagai kajian di atas. Kesimpulan yang beragam tentang HHT justru menunjukan bahwa HHT ikut melambungkan kebudayaan Melayu sebagai kebudayaan besar dunia.
Hikayat Hang Tuah di Mata Sulastin Sutrisno

Pada akhir kajiannya, Sulastin Sutrisno menyatakan bahwa dari segi tradisi dan pembaharuan, HHT mengandung sifat-sifat roman modern. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks HHT yang panjang dan berbentuk prosa itu mengisahkan seluruh kehidupan pelaku-pelakunya dengan segala untung malangnya, pada segi kehidupan jiwanya, cita-citanya, jalan pikirannya, sikapnya dan sebagainya, dalam ruang dan waktu tertentu. Pelaku-pelakunya terdiri atas orang-orang yang berbicara, bukan dewa-dewa atau jin dan peri (hal 343).

Pernyataan Sulastin Sutrisno di atas dikaitkan dengan hasil kajiannya yang menemukan bahwa HHT secara umum mengandung sifat roman karena dua hal. Pertama, peranan tokoh utama yang tidak dimainkan atas nama pribadinya sendiri. Artinya, sepanjang cerita HHT, tokoh Hang Tuah lebih merepresentasikan manusia Melayu dalam tanah Melayu yang dicita-citakan. Kedua, jika dalam cerita roman umumnya cerita cinta ditonjolkan, maka tidak demikian halnya dengan HHT. Unsur umum cinta tidak tumbuh subur dalam HHT. Akan tetapi “cerita cinta” yang dimunculkan justru ketegangan dalam episode Tun Teja yang menegaskan tentang kesetiaan seorang Hang Tuah sebagai hamba kepada rajanya.

HHT di mata Sulastin Sutrisno justru komplit, yaitu tetap kuat unsur tradisionalnya namun juga memuat nilai-nilai internasional sebagai sebuah roman. Untuk itu, HHT layak untuk mendapat tempat dalam ilmu sastra dan menjadi warga sastra dunia. Lebih lanjut, jika kita mencermati pernyataan di atas, usaha Sulastin Sutrisno dalam menulis buku ini patut untuk diapresiasi, bahkan beliau pantas untuk dihormati sebagai salah seorang tokoh Melayu meskipun beliau berasal dari suku Jawa. Apapun kesimpulannya, kajian ini mengajarkan kepada kita semua bahwa HHT sebagai sebuah karya sastra Melayu dapat dijadikan sebagai media untuk memahami kebudayaan Melayu yang penuh warna.


Penulis :Prof. Dr. Sulastin Sutrisno
Editor : Prof. Heddy Sri Ahimsa-Putra, M.A. M.Phill.Ph.D. dan Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/94/Hikayat-Hang-Tuah-Analisis-Struktur-dan-Fungsi

Banyak Dibaca