31 Maret 2011

Pantun Nasehat Melayu

Membumikan Kembali Pantun Nasehat Melayu

Pantun nasehat melayuHampir semua suku di Nusantara mengenal seni tari, seni musik, seni kebudayaan, dan seni membangun rumah, namun seni pantun justru sering dilupakan orang. Pantun merupakan salah satu ekspresi seni lisan khas Melayu, termasuk Melayu Riau. Bagi orang Melayu, pantun sudah mendarah daging karena sejak kecil mereka sudah bergelimang dengan pantun. Mereka juga sudah sangat terbiasa mendengarkan uraian penafsirannya di berbagai kesempatan, mulai dari upacara adat, nyanyian, sampai pada pembicaraan sehari-hari. Kondisi inilah yang menyebabkan pantun selalu terangkat ke permukaan dengan berbagai gaya dan isinya sehingga masyarakat Melayu tidak sekadar arif menyimak makna yang terkandung di dalam pantun, tapi juga mampu bahkan mahir dalam berpantun.

Pantun yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu ini, terutama Melayu masa silam, secara arif dijadikan media dakwah dan tunjuk ajar oleh para ulama, pemangku adat, dan cerdik pandai sebagai media penyampaian pesan-pesan moral yang sarat nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat. Biasanya penyampaiannya dilakukan dengan berbagai variasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun nasehat, pantun berkasih sayang, bahkan pantun monto (mantera) sesuai waktu, tempat, kemampuan dan kedudukan sang penyampai pantun, serta kepada siapa pantun itu ditujukan.

Dalam kehidupan masyarakat Melayu, pantun berperan penting dalam mewujudkan pergaulan seresam karena kemahiran dalam berpantun seakan menjadi tolok ukur tingkat pergaulan dan status sosial seseorang. Artinya, semakin mahir seseorang dalam pantun-memantun, maka semakin tinggi pula tingkat pergaulan dan status sosialnya.

Di samping itu, pantun berperan pula sebagai hiburan, penyalur aspirasi, penyebaran dan penanaman nilai-nilai keagamaan, bahkan mencari jodoh. Singkat kata, pantun menembus segala aspek kehidupan masyarakat Melayu. Sebagaimana tersebut dalam ungkapan, "dengan pantun banyak yang dituntun", "pantun dipakai membaiki perangai", "melalui pantun syarak menuntun", "di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar", "di dalam seloroh ada petaruh", "di dalam menyindir terdapat tamsil", dan juga terungkap dalam pantun-pantun berikut:

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk memberi petuah amanat

Apa guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apa guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh

Dalam berpantun biasanya para pemantun (penutur) sangat memperhatikan keserasian sampiran, keserasian antara isi dan sampiran, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat. Artinya, tidak hanya sekadar kesamaan bunyi belaka. Dengan kata lain, pantun yang baik adalah pantun yang sampiran dan isinya mengandung arti. Sehingga, pantun semacam ini sedap didengar, mudah dipahami, tidak berbelit-belit apalagi mengada-ada, dan yang terpenting bahwa pantun itu penuh dengan kandungan isinya yang mendalam namun tetap mudah dicerna, seperti dalam pantun berikut ini:

Hari Jum‘at orang sembahyang
Menyembah Tuhan beramai-ramai
Membayar zakat janganlah bimbang
Supaya bersih harta dipakai

Bila hidup tidak beriman
Banyaklah orang fitnah memfitnah
Bila mengikuti bisikan syetan
Kebaikan hilang marwahpun punah

Meskipun pada masa silam pantun mendapat kedudukan istimewa, yaitu begitu diutamakan dan dijadikan pedoman, pegangan, dan bekal dalam kehidupan masyarakat Melayu, namun pada masa kini keadaannya justru terbalik. Sejalan dengan perubahan zaman, jumlah penutur dan pemantun semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat, langkanya momentum untuk menampilkan dan menyampaikan pantun, serta semakin minimnya perhatian seluruh kalangan masyarakat, mulai dari tingkat atas sampai paling bawah. Kondisi-kondisi tersebut membuat seni Melayu ini menjadi asing di tengah masyarakatnya sendiri. Pemahaman masyarakat yang belum mendalam terhadap seni pantun dan apa manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat ternyata juga berpengaruh terhadap kondisi-kondisi semacam itu.

Meski demikian, belakangan ini ada secercah titik terang yang kita temukan pada usaha sebagian pejabat di Riau untuk memasukkan pantun ke dalam pidato-pidato resmi dan juga usaha sebagian masyarakat untuk memasukkan pantun dalam rangkaian upacara perkawinan adat, seperti pada saat upacara "membuka pintu" dan "membuka kipas" pengantin di pelaminan. Walaupun tahap awal ini nampaknya hanya sebatas seremonial belaka, namun setidaknya tahap ini bisa dijadikan pijakan awal untuk mengembangkan dan membumikan kembali seni budaya pantun dalam hidup dan kehidupan masyarakat Melayu. Tentu saja, perhatian dan kerjasama berbagai lapisan masyarakatlah yang akan menentukan keberadaan pantun pada masa mendatang.

Buku tulisan Tenas Effendy yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa ini menjelaskan hal ihwal pantun memantun, mulai dari pantun secara umum sampai pada pembagian jenis pantun. Atau dengan kata lain, tema-tema yang dibahas adalah mulai dari kandungan isi pantun, kedudukan, peran, kapan dan seperti apa penggunaannya, serta keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Melayu masa kini dan masa silam.

Di bagian akhir buku ini, Tenas Effendy menyuguhkan 999 buah pantun pilihan yang mengandung nilai-nilai luhur agama Islam, budaya, dan norma-norma sosial masyarakat Melayu, yang disebutnya sebagai “pantun nasehat”. Bila dicermati secara seksama, contoh-contoh pantun yang termuat dalam buku ini sebenarnya lebih mendekati kepada nasehat dan petuah. Sehingga, selain memetik nasehat yang termuat di dalamnya, kita juga bisa menjadikannya sebagai rujukan dalam menyampaikan nasehat-nasehat yang dimaksud.

Apa yang disuguhkan dalam buku ini memang belumlah mencakup seluruh pantun Melayu karena apa yang disajikan barulah sebagian kecil dari ribuan bahkan jutaan pantun Melayu. Buku ini justru hanya memuat sebagian dari seluruh pantun yang ada. Hal ini dapat dimaklumi karena untuk menghimpun pantun yang dimaksud memerlukan waktu yang relatif lama serta memerlukan kajian yang lebih mendalam. Apalagi, sebagian besar pantun-pantun tersebut tersebar di berbagai pelosok bumi Melayu.

Oleh karena itu, kehadiran buku ini patut diapresiasi. Buku ini merupakan salah satu upaya konkret yang positif dalam rangka mengekalkan seni Melayu. Buku ini diharapkan mampu memicu perhatian, kesadaran, dan partisipasi aktif seluruh masyarakat Melayu pada umumnya dan masyarakat Melayu Riau pada khususnya untuk melestarikan dan membumikan kembali seni Melayu ini dalam bingkai kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Judul Buku : Pantun Nasehat
Penulis : H. Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/88/Membumikan-Kembali-Pantun-Nasehat-Melayu

30 Maret 2011

Magis dalam Syair Ikan Terubuk

Muatan Politik dan Magis dalam Syair Ikan Terubuk

Magis dalam Syair Ikan TerubukSalah satu cerita lisan yang masih mentradisi di kalangan masyarakat Melayu Bengkalis, Riau adalah kisah ikan Terubuk. Kisah ini terabadikan dalam bentuk syair dengan 285 rangkaian bait yang lebih dikenal dengan Syair Ikan Terubuk. Rangkaian bait syair ini telah diterbitkan sekitar dua puluh versi, salah satunya ditulis oleh Ulul Azmi.

Rangkaian syair ini menceritakan perjuangan ikan Terubuk, salah satu jenis ikan yang menjadi pemimpin kerajaan laut dengan daerah kekuasaan meliputi beberapa selat, untuk mendapatkan putri nan cantik jelita bernama Puyu-Puyu dari kerajaan air tawar. Untuk mendapatkan putri Puyu-Puyu, ia pun mengerahkan bala pasukan yang dimilikinya untuk menerobos masuk ke kerajaan air tawar. Namun mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pasukan Terubuk terjerat jaring nelayan.

Melalui buku ini, Ulul Azmi menunjukkan bahwa syair ikan Terubuk merupakan karya sastra sarat makna dan bernilai tinggi yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat Bengkalis, khususnya di laut muara sungai Siak, Riau. Di samping itu, Azmi juga menunjukkan bahwa karya sastra yang diciptakan pada abad ke-19 ini dibuat oleh seorang penyair yang memiliki pengetahuan luas mengenai kehidupan di dalam air, baik air asin maupun air tawar.

Mantra Sakti Ikan Terubuk

Dalam perkembangannya, Syair Ikan Terubuk yang menceritakan nasib ikan Terubuk dan pasukannya yang terjerat jaring para nelayan mengalami pergeseran nilai dan fungsi. Mulanya syair ini merupakan karya sastra sarat makna, kemudian beralih fungsi menjadi mantera pengundang yang mempunyai kekuatan magis. Perubahan dari sekedar karya sastra menjadi mantra berkekuatan magis menunjukkan adanya pergeseran makna dan fungsi dari Syair Ikan Terubuk.

Masyarakat Bengkalis percaya bahwa pembacaan Syair Ikan Terubuk dapat mengundang ikan Terubuk yang “dipercaya” berasal dari selat Malaka agar datang berbondong-bondong ke wilayah perairan Bengkalis untuk bertelur, beranak pinak, hingga akhirnya dapat ditangkap oleh para nelayan setempat.

Untuk menghadirkan kekuatan sakral sebagai mantra pengundang, Syair Ikan Terubuk selalu dibacakan dalam upacara mengundang ikan Terubuk. Upacara ini disebut semah laut. Pelaksanaan upacara semah laut dipandu oleh para Bathin (tetua adat) yang berasal dari Bengkalis, Senderak, Alam, dan Penebal. Dalam upacara ini, para tetua adat berperan sebagai mediator untuk memanggil ikan-ikan Terubuk.

Nuansa Penaklukan

Membaca Syair Ikan Tarubuk akan semakin menarik jika kita membacanya melalui kaca mata politik. Secara politik, rangkaian Syair Ikan Terubuk menggambarkan ambisi yang gagal dari penguasa lautan, ikan Terubuk, untuk menguasai daerah pedalaman, putri Puyu-Puyu. Jika ditarik pada konteks awal keberadaan syair tersebut, kita akan mengetahui bahwa Syair Ikan Terubuk menceritakan ambisi dari negeri pantai di wilayah Semenanjung Melayu, yang diwakili oleh Sultan Mahmud dari Melaka, untuk menaklukan negeri-negeri di daerah pedalaman, seperti Pagarruyung, Minangkabau dan negeri-negeri agraris lainnya.

Tanpa menggunakan kaca mata penaklukan dalam membaca Syair Ikan Terubuk, kita akan terperosok dalam sebuah langgam dan irama yang membosankan. Namun dengan mengaitkannya dengan upaya penaklukan pada masa itu, Syair Ikan Terubuk akan mempunyai nilai lebih terutama di tengah situasi di mana sebagian besar masyarakat selalu melihat pusat kekuasaan sebagai mimpi-mimpi yang tak teraih, bahan gunjingan, dan harapan yang selalu (disuntikkan) kepada anak-cucu agar suatu saat kelak mereka akan menjadi penglima yang memegang peranan penting dalam sebuah pusat kekuasaan.

Sebagai sebuah karya sastra, buku yang ditulis oleh Ulul Azmi cukup menarik dengan pemilihan kata yang cukup bagus sehingga tidak akan membosankan pembaca. Bahkan, semakin sering dibaca, semakin banyak pula nilai-nilai tersirat di dalamnya yang bisa dibongkar. Usaha Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa dalam menerbitkan buku Syair Ikan Terubuk merupakan salah satu upaya pelestarian dan pengekalan khazanah seni budaya Melayu.

Penulis : Ulul Azmi
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: adicita.com/resensi/detail/id/87/Muatan-Politik-dan-Magis-dalam-Syair-Ikan-Terubuk

29 Maret 2011

Syair Nasib Melayu

Syair Nasib Melayu

Perhatian Tenas Effendy terhadap khazanah warisan budaya Melayu tidak diragukan lagi. Perhatian tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi peradaban manusia, terutama peradaban Melayu di Nusantara. Dalam karya-karyanya, Tenas selalu menekankan pentingnya menjaga identitas Melayu dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya lokal, karena nilai-nilai tersebut senafas dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Agaknya, dasar pemikiran inilah yang mendorong Tenas begitu ulet mengkaji kebudayaan Melayu, khususnya Melayu Riau dan Kepulauan Riau.

Banyak sudah buah karya Tenas yang telah dipublikasikan dan menjadi bahan rujukan di kalangan peneliti dan pecinta budaya Melayu. "Syair Nasib Melayu" adalah salah satu karyanya yang cukup bagus. Melalui buku ini, Tenas menuangkan pandangan-pandanganya terhadap Melayu modern tanpa melupakan realitas sejarah Melayu itu sendiri.

Realitas modern menciptakan persoalan-persoalan baru yang sangat kompleks di tengah masyarakat, mulai dari penetrasi kapitalisme global, kualitas pendidikan dan pengetahuan yang rendah, kerusakan moral, keterbatasan lahan pekerjaan, sampai kepada kerusakan lingkungan. Semua persoalan itu bagaikan benang kusut yang sangat sulit untuk diuraikan kembali. Masyarakat tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu. Fenomena ini sangat memilukan. Tenas Effendy mengakui bahwa kondisi semacam itu mempengaruhi cara pandang orang-orang Melayu terhadap sejarah dan budayanya.

Mungkin atas dasar itulah "Syair Nasib Melayu" ditulis. Syair ini berisikan refleksi penulisnya terhadap fenomena dan problematika Melayu masa kini. Misalnya perihal penyebab dari kemunduran awal Melayu modern, yang menurut Tenas dikarenakan ketertutupan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan modern, sebagaimana dituliskan dalam syair berikut ini: (bait 49, 50, 53)

Di bumi Melayu pembangunan pesat
Baik di laut maupun di darat
Banyak peluang boleh didapat
Banyak usaha boleh dibuat

Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
Diisi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada
.........
Disinilah tempat Melayu jatuh
Karena banyak yang masih bodoh
Peluang yang dekat menjadi jauh
Nasib pun malang celaka tumbuh

Syair di atas mengisyaratkan bahwa ketika orang lain telah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, orang Melayu justru hanya berdiam diri atau berjalan di tempat. Padahal, jika saja mereka punya kemauan untuk membuka lembaran sejarah Melayu, maka banyak hal yang dapat dipelajari dan dipetik hikmahnya, serta menjadikan sejarah itu sebagai pedoman dalam membangun masa depan. Untuk membangun masyarakat yang terbuka, kuat dan demokratis, suatu masyarakat harus mempertahankan warisan sejarah dan budaya yang baik, dan pada saat yang sama mengadopsi hal-hal baru dari luar yang lebih baik. Masyarakat Melayu Riau pada kenyataannya kurang membuka diri terhadap kemajuan dan perkembangan modern karena mereka terlalu silau terhadap warisan sejarah dan budayanya, sehingga terbuai dengan masa lalunya.

Tenas cukup memahami karakter masyarakat Melayu Riau yang cenderung “pemalas”. Sifat inilah yang membawa mereka pada keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan modern. Dalam syairnya Tenas menulis (bait 94):

Walau Melayu bertanah luas
Tetapi terlantar karena malas
Dimanfaatkan orang awak pun cemas
Lambat laun semuanya lepas.

Di bagian akhir syairnya, Tenas menjelaskan secara detil karakter- karakter lain orang Melayu Riau. Meminjam perkataan Mahyudin Al Mudra, pemangku Balai Melayu Yogyakarta, Tenas cukup jujur dalam menilai karakter orang Melayu.

Dalam syair ini, tidak lupa pula Tenas memberikan sugesti kepada generasi-generasi muda Melayu sebagai pewaris kebudayaan, seperti termaktub dalam syair di bawah ini (bait 255 dan 256):

Ke generasi muda kita berharap
Kuatkan semangat betulkan sikap
Kokohkan iman tinggikan adab
Supaya Melayu berdiri tegap

Ke generasi muda kita berpesan
Hapuslan sifat malas dan segan
Isilah diri dengan ilmu pengetahuan
Supaya Melayu tidak ketinggalan

Karya sastra yang diselesaikan pada tahun 1990 ini merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya. Dalam buku ini, Tenas banyak memotret kondisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Riau sebelum tahun 1990. Meskipun demikian, bila dicermati secara mendalam, syair-syair tersebut masih memiliki relevansi dengan kondisi sekarang, karena proses penulisannya berlangsung dalam sebuah kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.

Sebagai karya sastra, "Syair Nasib Melayu" masih menampilkan gaya penulisan tradisi sastra kuno, tanpa melepaskan gaya modernnya. Beberapa bait di atas adalah salah satu contohnya. Inilah salah satu unsur yang membuat karya sastra ini begitu nikmat untuk dibaca dan diresapi. Selain itu, gaya kritik sosial yang dibangun, menurut penilaian Al Azhar, dalam prakatanya, mirip dengan sejumlah syair “Lingkaran Penyengat”, seperti Syair Lebai Guntur, Syair Awai, Syair Kadamuddin, dan lain sebagainya. Dengan diterbitkannya karya ini, telah bertambah khazanah kesusastraan Melayu.

"Syair Nasib Melayu " menjadi penting di kalangan peneliti dan pencinta budaya Melayu karena memuat gambaran utuh namun ringkas tentang sejarah, karakter, dan tantangan Melayu di masa depan. Tanpa bermaksud untuk berlebihan, bagi orang Melayu sendiri, hadirnya karya sastra ini ibarat cermin datar yang menjalaskan realita secara apa adanya, baik kelebihan maupun kekuranganya.

Penulis : Tenas Effendy
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/85/Syair-Nasib-Melayu

28 Maret 2011

Upacara Aqiqah dalam Masyarakat Melayu

Upacara Aqiqah dalam Masyarakat Melayu

aqiqah dalam masykaralat melayuMasyarakat Melayu memiliki banyak sekali upacara-upacara tradisional yang masih dipertahankan hingga sekarang. Upacara tradisional Melayu itu meliputi keseluruhan siklus kehidupan manusia sejak dalam kandungan, kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, berumah tangga, hingga meninggal dunia. Semua itu diatur sedemikian rupa oleh adat yang telah disepakati sejak zaman nenek moyang orang Melayu dan diwariskan secara turun temurun hingga sekarang.

Biasanya upacara tradisional untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Melayu diadakan dengan mengundang kerabat dekat dan tetangga dengan jamuan makan bersama. Berbagai macam upacara adat yang terdapat di dalam masyarakat Melayu merupakan cerminan bahwa semua perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kenyataan bahwa masyarakat Melayu menghormati budayanya, tampak dalam pelaksanaan Ayun Budak. Ayun Budak adalah upacara yang dilakukan untuk bayi yang baru berusia beberapa hari dan digabungkan dengan upacara aqiqah, sehingga kegiatan mencukur rambut bayi dan menepung-tawari bayi selalu mengawali acara ini. Hal inilah yang oleh Irwan Effendi dan Muslim Nasution melalui bukunya Lagu Ayun Budak: Rampai Budaya Melayu Riau disebut bahwa Ayun Budak merupakan salah satu tradisi Melayu yang sarat akan makna dan nilai religius.

Dalam buku setebal 32 halaman ini, Irwan Effendi dan Muslim Nasution mengurai dengan sederhana dan belajar dari apa yang dilakukan oleh masyarakat Melayu dalam upacara Ayun Budak. Intinya, kehadiran buku ini bermaksud menemukan tema budaya dari setiap tahap upacara tradisional masyarakat Melayu yang berhubungan dengan kelahiran anak beserta lagu-lagu yang dinyanyikannya.

Menurut buku ini, Ayun Budak berasal dari dua kata; ayun dan budak. Ayun atau ayunan adalah wadah yang tergantung pada seutas tali yang kemudian didorong sehingga bergerak ke dua arah. Sedangkan budak dalam bahasa Melayu berarti anak-anak. Secara istilah, Ayun Budak dapat diartikan sebagai suatu acara mengayun anak-anak atau bayi (budak) secara beramai-ramai disertai nyanyian lagu-lagu berisi nasehat, petuah, dan doa. Lagu-lagu itu biasanya dilantunkan oleh ibu-ibu dan remaja putri. Ayunan yang digunakan dalam acara Ayun Budak biasanya lebih besar dari ayunan biasa dan dihiasi dengan kertas, pita, dan kain beraneka warna (hlm. 3).

Sejauh ini, belum diketahui secara pasti dari mana, oleh siapa, dan sejak kapan tradisi Ayun Budak mulai berkembang dalam masyarakat Melayu. Menurut beberapa informasi, sebagaimana juga dilansir dalam buku ini, tradisi Ayun Budak pertama kali dipraktekkan oleh Haji Sulaiman (kakek dari salah satu penulis buku ini, Irwan Effendi) sepulang dari lawatan ke Negeri Kedah, Malaysia. Tentunya informasi itu, menurut penulis buku ini, hanya tersebar di daerah Haji Sulaiman kini bermukim. Namun yang pasti, Ayun Budak hingga kini masih dilakukan dan ditemui di Riau dan Sumatra Utara. Bahkan, menurut penulis, upacara serupa juga dijumpai di negeri jiran Malaysia (hlm. 4).

Melalui buku yang diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita ini, penulis mengurai latar belakang tradisi Ayun Budak dalam masyarakat Melayu ke dalam beberapa poin pertanyaan yang meliputi; bagaimana masyarakat Melayu khususnya di Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau melaksanakan upacara tradisional Ayun Budak yang berhubungan dengan aqiqah anak? Apakah upacara tradisional yang mereka laksanakan itu telah mengalami akulturasi budaya dengan budaya lokal lainnya? Dan apa makna dari setiap rangkaian upacara tradisional tersebut?

Dalam lembar demi lembar buku ini, pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab dengan uraian makna dan tujuan pelaksanaan Ayun Budak di masyarakat Melayu, yang menurut buku ini, antara lain; pertama, sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur kepada Tuhan atas lahirnya putra atau putri dengan selamat dan sehat sebagai anggota keluarga baru. Ungkapan syukur dari ayah dan ibu bayi itu terlihat dari ungkapan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan dan kemudian disambut dengan jawaban oleh para tamu undangan, seperti lirik lagu di bawah ini:


Dengan Bismillah Rabbi kami mulai Alhamdulillah selawatkan Nabi Dengan Takdir Rabbi Ilahi Rabbi Sampailah Maksud yang dicintai Seorang anak Rabbi cinta yang lama Sekaranglah sudah kami terima Titiklah titik Rabbi diberi nama Kami ayunkan bersama-sama Jawab… Dipanggil kami Rabbi orang sekalian Oleh ibumu bapakmu tuan Sesudah diberi Rabbi minum dan makan Menyatakan syukur kepada Tuhan Syukur kepada Rabbi Allah ta’ala Karena mendapat intan kumala Memberi sedekah Rabbi beberapa pula Dengan sekedarnya adalah pula Adapun makna dan tujuan lagu Ayun Budak kedua, yaitu menjadi media penyampaian nasehat kepada si bayi maupun hadirin. Dan ketiga, Ayun Budak melalui lagu-lagunya bertujuan menghaturkan doa kepada Sang Khalik. Doa itu dilakukan oleh kedua orang tua bayi dan diiringi lantunan lagu jawaban oleh semua hadirin, seperti: Ibu bapakmu Rabbi mari dengarkan Anak diayunkan kami nyanyikan Bersama-sama Rabbi kita doakan Harapan Allah minta perkenalkan Adapun anak Rabbi masa kecilnya Harum-haruman ibu bapaknya Sehingga sampai Rabbi sudah umurnya Satu tahun genap bilangan Sedangkan makna dan tujuan yang keempat, adalah bahwa Ayun Budak dan prosesinya dapat memupuk silaturahmi sesama warga masyarakat (hlm. 4-5). Hal ini sebagaimana terlihat di larik lagu: Dipanggil kami Rabbi kaum kerabat Serta sekalian handai sahabat Sekalian jiran Rabbi kawan terdekat Semuanya datang dengan selamat Jauh dan dekat Rabbi datang sekalian Besar dan kecil laki-laki perempuan Setengahnya datang berjalan sampan Setengahnya datang berpayung sampan Inilah kami Rabbi datang bertamu Mengunjungi engkau hilir dan hulu Mengayun engkau Rabbi maksud begitu Karena hajat ibu bapakmu Wahai anak Rabbi pikir olehmu Besarnya hajat ibu bapakmu Jika besar Rabbi sudah umurmu Jasa mereka balas olehmu
Baris-baris lirik lagu Ayun Budak di atas menunjukkan ungkapan orang tua bayi yang menyambut para tamu undangan dalam upacara aqiqah anak. Sedangkan dari lirik lagu jawaban termaktub sejenis percakapan formal yang metaforis dengan pemaknaan yang menegaskan iktikad (keinginan) baik dari para tamu undangan. Nuansa dialogis itu berlangsung dalam lagu Ayun Budak yang menyerupai pantun berbalas, yang biasanya dalam masyarakat Melayu digunakan untuk ritual keagamaan, perkawinan, adat-istiadat, ataupun aktivitas sosial lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, tampaklah bahwa pelaksanaan upacara tradisional Ayun Budak memuat makna filosofi yang diwariskan dari nenek moyang orang Melayu. Upacara tradisional itu sarat dengan pesan-pesan moral dan harapan baik bagi sang bayi bila kelak ia tumbuh dewasa. Oleh karenanya, dalam masyarakat Melayu, tidak ada elemen yang digunakan sebagai pelengkap setiap upacara yang tidak memuat arti tertentu; setiap elemen adalah simbol dari makna yang diwakilinya. Sekalipun dirasa rumit dan sangat detail oleh beberapa orang, tradisi Melayu ternyata masih dipertahankan oleh masyarakatnya. Kesetiaan masyarakat Melayu terhadap tradisinya secara umum memberi kesan adanya sifat mengikuti apa yang dilakukan orang tua dengan maksud menjaga identitas diri sebagai orang Melayu. Bentuk pewarisan tradisi tersebut pada hakekatnya adalah untuk melanggengkan nilai-nilai luhur yang termuat di balik setiap tindakan, termasuk upacara Ayun Budak.

Sebagai hasil kreatif seni bahasa, lagu Ayun Budak lahir dari pemikiran yang berlangsung dari situasi kelisanan. Tradisi kelisanan dalam masyarakat Melayu di Riau, misalnya, akan mempengaruhi bentuk dan struktur lagu Ayun Budak. Dalam budaya yang hampir seluruhnya bersifat lisan, semua pesan yang diterima biasanya disimpan dalam ingatan untuk kemudian digunakan kembali ketika ada acara Ayun Budak. Karena keterbatasan daya simpan otak manusia, maka digunakan bentuk-bentuk linguistik atau bahasa yang mudah dihafal, mudah diingat, dan mudah disampaikan, sebagaimana larik lagu-lagu Ayun Budak dalam buku ini.

Oleh karena itu, tanpa memahami situasi kelisanan dan muatan pesan dari setiap detail tindakan serta makna upacara Ayun Budak, kekhawatiran akan terkikisnya eksistensi, sekaligus esensi, upacara tradisional dalam masyarakat Melayu tersebut mungkin cukup beralasan. Nah, kehadiran buku yang mengurai prosesi Ayun Budak dan dilengkapi dengan lagu-lagu beserta foto-foto yang ilustratif ini, jelas membuat pemahaman kita tentang khazanah budaya Melayu makin mendalam. Kedua penulisnya harus dihargai atas upayanya melebarkan dan memperkenalkan kekayaan khazanah budaya Melayu. Karenanya, buku ini sayang diabaikan, terutama bagi mereka yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema budaya Melayu Riau.

Penulis : Irwan Effendi & Muslim Nasution
Penerbit : BKPBM dan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/84/Upacara-Aqiqah-dalam-Masyarakat-Melayu

27 Maret 2011

Alat Musik Melayu Ghazal

Keunikan Musik Melayu Ghazal

alat musik melayu ghazalMusik adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan. Sebagai bahasa hati dan ekspresi perasaan, musik merupakan cerminan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasari dan menghidupkan kebudayaan secara menyeluruh. Boleh dikata musik merupakan salah satu elemen kesenian yang dipengaruhi tradisi budaya tertentu untuk menentukan patokan-patokan sosial dan patokan-patokan individu, mengenai apa yang disukai dan apa yang diakui oleh masyarakat di mana musik tersebut hidup.

Demikian pula dengan musik Melayu ghazal yang diurai dalam buku karya Asri, alumnus Magister Seni Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta ini. Musik yang awalnya berasal dari semenanjung Arab dan dipengaruhi oleh budaya India ini, mencerminkan pula kepribadian masyarakat di mana musik ini berasal. Irama padang pasir yang mendayu-dayu, diramu dengan tepukan tabla, alunan harmonium, gesekan biola, dan petikan gitar, menghadirkan suasana melankolis yang membuai. Masyarakat Melayu yang pada dasarnya memiliki karakter melankolis, menurut Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, sangat sesuai dengan jenis musik ghazal ini. Ditambah dengan kekayaan pantun mereka, yang juga diadaptasi menjadi lirik lagu, membuat musik ghazal menjadi musik yang mewakili sepenuhnya jiwa dan sikap hidup masyarakat Melayu (hlm. vi).

Hingga kini, musik Melayu ghazal masih hidup di masyarakat Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dan merupakan salah satu musik tradisional yang telah lama berkembang dan menjadi ungkapan bentuk kesenian tradisional yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat. Sejarah dan perkembangan musik Melayu ghazal di Desa Pulau Penyengat, menurut buku ini, terbilang berhasil di saat musik kesenian daerah lain mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat.

Dalam uraiannya, Asri menjelaskan bahwa adalah seorang tokoh bernama Pak Lomak yang telah berhasil meneruskan perjuangan leluhur untuk mengenalkan musik ghazal dari Arab ke Johor Malaysia hingga ke Desa Pulau Penyengat di Kepulauan Riau. Perjuangan Pak Lomak yang gigih dan penuh tanggung jawab merupakan modal dasar yang digunakannya untuk menyebarkan musik Melayu ghazal. Selain itu, Pak Lomak juga berupaya untuk menggabungkan alat musik melayu dari negara lain dengan musik Melayu ghazal, sehingga menjadikan musik ghazal dapat mengikuti perkembangan zaman dan mendapatkan respon positif dari masyarakat Desa Pulau Penyengat.

Lebih lanjut, pertumbuhan dan perkembangan musik Melayu ghazal, menurut buku ini, berkenaan dengan tiga unsur yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Pulau Penyengat. Pertama, masyarakat merespon dengan baik adanya musik Melayu ghazal. Kedua, lintas generasi yang satu dengan generasi berikutnya tertata dengan baik, sehingga musik Melayu ghazal tetap dikenal oleh generasi selanjutnya. Ketiga, musik Melayu ghazal selalu dipublikasikan agar dapat didengarkan oleh orang banyak (hlm. 5).

Dari sini, dapat dikatakan bahwa musik Melayu ghazal tidaklah hanya apresiasi seni semata, tetapi juga memperlihatkan makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi kehidupan masyarakat Melayu. Makna dan fungsi musik ghazal terwujud sebagai suasana pengungkapan hati, sebagai sarana hiburan, dan sebagai sarana komunikasi. Di samping itu, musik ghazal bagi masyarakat Melayu juga merupakan representasi simbolis yang mencerminkan nilai-nilai, pengaturan kondisi sosio-kultural, dan juga merupakan peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan sosial.

Oleh sebab itu, tampak jelas bahwa musik Melayu ghazal mempunyai peran yang kuat dalam mengungkapkan suasana hati seseorang dan masyarakat Melayu di Desa Pulau Penyengat. Pengungkapan suasana hati itu dapat bersifat spesifik seperti halnya pada lagu yang bernuansa sosial maupun lagu-lagu percintaan yang mengungkapkan perasaan dan kepuasan diri. Apapun jenis suasana hati yang diekspresikan dalam pementasan musik Melayu ghazal, akan menggugah reaksi dari para pendengar atau penontonnya. Maksudnya, nuansa lagu yang dibawakan dalam musik ghazal disesuaikan dengan suasananya. Sebagai contoh, untuk suasana pesta pernikahan dan pesta meriah lainnya tentu sangat berbeda nuansa musiknya dengan suasana kematian atau kesedihan.

Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi suasana hati terhadap musik ghazal di kalangan masyarakat Melayu adalah tempo yang dibawakan dengan alat musik seperti syarenggi, sitar, harmonium, dan tabla. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang dan tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang berhubungan dengan suasana kesedihan dan kerinduan. Syair-syair lagu yang dibawakan kadang diadaptasi dari puisi-puisi dan pantun-pantun Melayu, sehingga peran dan jasa musik ghazal dalam perkembangan dan pelestarian puisi dan pantun Melayu tidaklah kecil. Banyaknya lagu-lagu yang diadaptasi dari puisi dan pantun tersebut menggambarkan persepsi masyarakat Melayu terhadap kebudayaannya.

Lagu-lagu dalam musik ghazal yang sering dibawakan antara lain, Soleram, Sri Mersing, Gunung Banang, Sri Tamiang, Sri Kedah, Sri Taman, Pak Ngah Balik, dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut adalah hasil ciptaan ahli-ahli musik Melayu ghazal. Sehubungan dengan itu, dinyanyikan pula lagu-lagu yang diadaptasi dari pantun-pantun Melayu seperti pantun Embun Berderai dan Patah Hati. Kedua pantun tersebut mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Melayu di Kepulauan Riau karena menggambarkan orang yang sedang sedih.

Di samping itu, sembari mengutip para ahli musik tradisional, Asri dalam buku yang diangkat dari tesis masternya ini, mengakui bahwa selain berfungsi sebagai hiburan, kesenian musik juga berfungsi sebagai sarana komunikasi. Lewat pelbagai nuansa musik ghazal yang dibawakan, masyarakat Melayu hendak mengkomunikasikan seluruh perasaannya secara simbolis, baik yang riang maupun yang sedih. Nuansa kesedihan, kekecewaan, dan kesepian biasanya diungkapkan dengan lirik dan bunyi lagu-lagu percintaan maupun lagu-lagu perpisahan. Selain itu, musik ghazal juga hendak mengkomunikasikan identitas Melayu sebagai etnis. Sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok etnis di Indonesia, masyarakat Melayu yang terkenal dengan tari-tarian dan musik tradisionalnya, sangat menyadari keunikan musik mereka, baik musik ghazal maupun musik lainnya.

Dari seluruh uraian buku yang terbagi dalam enam bab ini, dapat disimpulkan bahwa musik ghazal mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Melayu. Musik ghazal merupakan titik pangkal pengembangan budaya sekaligus merupakan simbol identitas yang unik dari masyarakat Melayu. Musik ghazal merupakan kebanggaan masyarakat Melayu di Desa Pulau Penyengat dan bahkan di kalangan masyarakat Melayu di daerah lainnya. Ia merupakan sarana yang sangat vital dalam pengungkapan tradisi masyarakat Melayu.

Keberadaan musik ghazal juga merupakan bentuk pernyataan ikatan kekeluargaan, kekerabatan, keturunan sedarah dan keturunan sesuku Melayu umumnya. Di samping itu, musik Melayu ghazal, secara tidak langsung, mengajarkan kearifan hidup manusia yang tercermin dalam sikap dan pergaulan dengan sesama (nilai sosial), maupun untuk mencapai nilai-nilai tertinggi, yakni nilai spiritual. Proses pencapaian nilai tersebut tentu saja didasari oleh sikap mendengarkan dengan penuh penghayatan, sehingga apa yang dihadirkan dari musik tradisional Melayu ini dapat menyentuh perasaan hati yang paling dalam.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, disadari atau tidak, sangat mempengaruhi musik tradisional Melayu ghazal, bahkan juga mempengaruhi hampir semua aspek kebudayaan. Sebagai contoh, hadirnya alat musik keyboard serta alat musik elektronik lainnya sangat berpengaruh besar bagi harmonium yang digunakan dalam musik ghazal. Posisi harmonium tak jarang “digeser” oleh keyboard. Selain itu, pemain musik ghazal sudah semakin langka ditemukan, karena kaum muda sudah kurang tertarik dengan alunan musik ghazal, apalagi untuk mempelajari cara memainkannya.

Melihat daya tahan musik Melayu ghazal sampai saat ini di Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, kita patut berbangga memiliki musik tradisional tersebut sebagai suatu khazanah kesenian Melayu di Nusantara. Sudah tidak penting lagi dari mana asal musik Melayu ghazal, yang terpenting adalah bahwa keberadaannya di Nusantara sangat lekat dengan nama kesenian Melayu. Ya, meski musik Melayu ghazal jauh dari kata populer ternyata masih mampu bertahan, setidaknya di Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Namun sampai kapan? Mengingat pelestarian dan penghargaan terhadap musik Melayu ghazal teramat minim, sepertinya puak Melayu harus membuka hati untuk segera turun tangan menyelamatkan musik Melayu ghazal dari kepunahan.

Nah, kehadiran buku karya Asri yang diterbitkan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) bekerjasama dengan Penerbit Adicita ini, merupakan salah satu upaya untuk menghayati, menggali, dan mendokumentasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam musik Melayu ghazal dan kemudian coba mewariskannya kepada generasi mendatang, agar tidak hilang ditelan zaman. Dengan demikian, musik Melayu ghazal tidak hanya dikenal di kalangan Melayu saja, tapi juga di masyarakat pendukung budaya lainnya.

Penulis : Asri
Penyunting : Mahyudin Al Mudra
Penerbit : BKPBM bekerjasama dengan Adicita, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/81/Keunikan-Musik-Melayu-Ghazal

26 Maret 2011

Ungkapan Bahasa Melayu Bangka

Ungkapan Bahasa Melayu Bangka

Jika Anda ingin belajar bahasa Melayu ketahuilah ungkapan-ungkapannya, tahu ungkapan maka tahu bahasa Melayu. Tidak perlu belajar tata bahasa karena bahasa Melayu adalah bahasa Indonesia pada dasarnya, hanya ungkapan dan nadalah yang membedakannya. Berikut beberapa ungkapan bahasa melayu Bangka:

1. Bahasa Bangka : Abis beras sumpit digulung
Bahasa Indonesia : Habis beras sumpit digulung
Makna Ungkapan :Agar pekerjaan berlangsung baik apapun dikorbankan

2.Bahasa Daerah : Abis kayu, nasi dak masak
Bahasa Indonesia : Habis kayu, nasi belum masak
Makna Ungkapan : Pekerjaan yang sudah mengeluarkan energi atau modal yang besar tetapi tidak selesai

3.Bahasa Daerah: Abis pekare, abis duit
Bahasa Indonesia : Habis perkara habis pula uang
Makna Ungkapan : Orang yang telah mengeluarkan biaya besar untuk mencapai tujuan tertentu

4. Bahasa Daerah : Ade barang dak pacak makai e Bahasa Indonesia : Ada barang tetapi tidak bida menggunakannya
Makna Ungkapan : Mendapat barang yang tidak tahu menggunakannya akhirnya jadi mubazir atau percuma

5. Bahasa Daerah : Ade masuk dak de keluar
Bahsa Indonesia : Ada yang masuk tetapi tidak ada yang keluar
Makna Ungkapan : Orang yang pintar mnyimpan rahasia atau orang yang pintar mengatur pengeluaran

6. Bahasa Daerah : Ade kepale dak ngigit, ade kitok dak belit
Bahasa Indonesia : Ada kepala tidak menggigit, ada ekor tidak membelit
Makna Ungkapan : Orang yang punya kemampuan tetapi tidak ada kemauan apa-apa

7. Bahasa Daerah : Ade perau nek berenang
Bahasa Indonesia : Ada perahu mau berenang
Makna Ungkapan : Ada sesuatu yang mudah tetapi mencari yang sulit sehingga menghabiskan waktu

8. Bahasa Daerah : Ade rupe ade harge Bahasa Indonesia : Ada rupa ada harga
Makna Ungkapan : Sesuatu dihargai dengan keadaan atau kondisinya

9. Bahasa Daerah : Agik ijau lah nek bekecak
Bahasa Indonesia : Masih kecil sudah mau bersolek
Makna Ungkapan : Orang yang belum mampu melakukan sesuatu tetapi sudah berlaku layaknya orang dewasa

10. Bahasa Daerah : Aik dalem gelas tu cem iris limau Bahasa Indonesia : Air dalam gelas itu seperti jeruk yang dipotong
Makna Ungkapan : Air dalam gelas yang sangat penuh

Ungkapan Bahasa Melayu Bangka dikutip dari tulisan Zulfani Ahmad, Sanggar Seni Tiga Serangkai di Grup Facebooknya.

Ramuan Obat Tradisional Riau

Ramuan Obat Tradisional Riau

ramuan obat tradisional riauBuku ini membahas tentang berbagai ramuan obat tradisional hasil racikan leluhur orang Riau masa silam. Ramuan obat tradisional ini sangat unik dan khas karena semua bahan obat dalam buku ini berasal dari beragam jenis tanaman, baik berupa biji, daun maupun akar, yang banyak tumbuh di sekitar rumah dan hutan Riau. Hal ini menandakan bahwa leluhur orang Riau sangat kreatif dan tanah Riau kaya akan Tanaman Obat untuk Keluarga (TOGA).

Penyakit yang dapat diobati dengan ramuan tradisional ini juga bermacam-macam, dari penyakit yang umum seperti sakit kepala atau perut (h. 3 dan h. 51-72) hingga penyakit yang khusus seperti kanker payudara (h. 84). Hal ini tentu saja sangat menggembirakan masyarakat karena dalam kondisi sekarang, di mana harga obat dan biaya rumah sakit mahal, masyarakat dapat memanfaatkan ramuan-ramuan obat dalam buku ini, yang murah dan mudah dibuat.

Sayangnya, buku ini dicetak dalam bentuk yang sangat bagus dan eksklusif sehingga tentu harganya sangat mahal. Dengan demikian, sulit bagi orang miskin untuk memilikinya. Kelemahan lain dalam buku ini adalah foto-foto tanaman seperti daun, biji, atau akar yang diletakkan terpisah dari pembahasan ramuan obat. Hal ini menjadikan pembaca tidak dapat secara langsung memahami foto mana yang dirujuk oleh masing-masing ramuan obat tersebut.

Terlepas dari kelemahan yang ada, pembaca yang tidak mengenal atau lupa nama tanaman obat tradisional mereka, khususnya para anak muda Riau atau orang kota yang tidak peduli atau tidak pernah mengenal ramuan tradisional, dapat membaca buku ini agar mengetahui dan memahami warisan leluhur mereka.
Kebudayaan Kesehatan

Dalam konsep kebudayaan, kesehatan adalah unsur yang paling jarang dibahas oleh antropolog. Padahal, kesehatan merupakan hal yang terdekat dengan sejarah kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya warisan ramuan obat tradisional yang dimiliki oleh hampir semua leluhur suku bangsa di nusantara ini. Leluhur Riau adalah salah satu bukti tersebut.

Koentjaraningrat dalam bukunya “Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan” (1996) tidak menyebut kesehatan sebagai unsur kebudayaan. Koentjaraningrat hanya menyebut bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, kesenian, dan organisasi sosial. Dalam konsep Koentjaraningrat, kesehatan dimasukkan ke dalam sistem pengetahuan, artinya segala bentuk ide, perilaku, dan benda-benda budaya yang berhubungan dengan kesehatan dianggap sebagai bagian dari sistem pengetahuan manusia. Hal yang sama juga terjadi pada keamanan.

Tidak disebutkannya kesehatan sebagai unsur kebudayaan tersendiri seperti halnya kesenian atau bahasa tampaknya menyebabkan orang sering melupakan warisan leluhur yang berupa ramuan obat tradisional. Hal ini pula yang menyebabkan orang sering mengidentikkan kebudayaan dengan kesenian, padahal kebudayaan adalah hasil olah cipta, rasa, dan karsa manusia seluruhnya. Oleh karena itu, penerbitan buku ini merupakan aktivitas kebudayaan yang positif dan penting untuk diapresiasi.

Buku ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Riau pada masa silam memaknai alam tidak hanya sebagai sebuah ruang hidup akan tetapi juga pemberi kehidupan. Mereka harus bertahan dari kerasnya kehidupan alam Riau. Dalam konteks ini, justru terlihat bahwa hasil olah budi yang berhubungan dengan kesehatan menjadi dasar dari kebudayaan lainnya. Oleh karena itu menjadi aneh jika kesehatan tidak disebut khusus menjadi unsur kebudayaan.

Alam telah memberikan inspirasi kepada leluhur orang Riau untuk meracik daun dan biji menjadi obat penyembuh sakit mereka. Ramuan obat yang mereka ciptakan menjadikan tamadun Melayu semakin nampak. Leluhur Riau sebagai salah satu leluhur bangsa Melayu menjadi bukti nyata bahwa kebudayaan Melayu penting untuk ditegakkan kembali. Tugas bagi puak-puak Melayu untuk memahami ini semua dan melestarikannya dalam tindakan selanjutnya.

Penulis : Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Riau
Penyelaras : Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M.
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/222/Ramuan-Obat-Tradisional-Riau

25 Maret 2011

Hasil Kongres PSSI 2011 di Pekanbaru, Riau

Hasil Kongres PSSI 2011 di Pekanbaru, tampak Baliho Komunitas GibolPSSI memilih Kota Pekanbaru sebagai tempat kongres pwrtama sejak keluar komentar FIFA terhadap kemelut PSSI baru-baru ini yang melarang empat nama, Nirwan Bakrie, Nurdin Halid, Panigoro dan George Toisuta.

Kongres PSSI yang akan berlangsung hari Sabtu ini, 26 Maret di The Premiere Hotel Pekanbaru, Riau sangat dinanti-nantikan hasil nya oleh masyarakat Indonesia. Namun kisruh tampaknya tak bisa jauh dari PSSI sebelum hasil kongres didapatkan, beberapa pihak mengaku belum mendapat undangan.

Saat ini di Ibu Kota Riau sudah banyak baliho dan spanduk yang menyebut diri mereka sebagai Komunitas Gila Bola Indonesia. Belum jelas siapa ketua dan siapa di balik komuntas in.

Namun dalam setiap baliho dan spanduk yang tersebar di Jalan Sudirman terpampang ajakan yang berbunyi kira-kira: Sportifitas PSSI, apapun hasil kongres bungkus,'' junjung tinggi fairplay dalam kongres PSSI, apapun hasil terima dengan sportif,'' Yang jelas pesan dan propagandanya jelas: agar masyarakat tidak lagi mengkritisi hasil kongres yang di gelar di Pekanbaru.

Jadi apa hasil kongres PSSI di Kota Pekanbaru? Kita tunggu saja laporan resminya.

Kerajinan Melayu Riau

Khazanah Kerajinan Melayu Riau

Khazanah Kerajinan Melayu RiauRiau sebagai salah satu provinsi di Indonesia memang cukup banyak memiliki jejak-jejak kebesaran kebudayaan Melayu. Di daerah Riau, pernah berdiri kerajaan-kerajaan Melayu yang cukup besar dan memiliki pengaruh yang luas di zamannya. Sebut saja Kerajaan Siak Sri Indrapura atau Kerajaan Lingga. Selain itu, dari tanah Riau juga pernah lahir tokoh-tokoh kebudayaan Melayu, semisal Raja Ali Haji. Berdasarkan bukti-bukti kebudayaan ini, menjadi wajar jika Pemerintah daerah Riau menciptakan visi Riau menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020.

Selain kerajaan dan tokoh Melayu, Riau juga kaya akan kerajinan tradisional seperti songket, tekat, batik, bordir, anyaman, atau ukiran kayu. Kerajinan-kerajinan ini terdokumentasi dengan baik dalam buku berjudul Khazanah Kerajinan Melayu Riau ini. Buku ini membahas tentang berbagai kerajinan khas Riau yang merupakan kebudayaan orang Riau masa silam. Kerajinan-kerajinan ini hingga kini masih terjaga dengan cukup baik. Untuk melestarikan budaya Riau, penerbitan buku ini penting untuk diapresiasi.

Informasi dalam buku ini ditulis dengan cukup ringkas namun komunikatif. Hal ini menjadikan buku ini enak dibaca dan mudah dipahami. Untuk mengetahui informasi tentang kerajinan Melayu yang lebih lengkap memang diperlukan referensi yang lain, namun jika pembaca hanya ingin mengenal jenis-jenis kerajinan Melayu yang beragam beserta proses pembuatannya, buku ini sudah cukup memadai.

Buku ini diterbitkan oleh tim Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Riau, sebuah lembaga yang memang bergerak dalam bidang pelestarian kebudayaan Riau. Penerbitan buku ini merupakan tindak lanjut dari visi Provinsi Riau 2020 yang ingin menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020. Pemerintah Daerah Riau menganggap kerajinan sebagai jejak-jejak orang Melayu yang menjadi simbol dan identitas tamadun Melayu. Oleh karena itu, kerajinan perlu dan penting untuk didokumentasikan agar visi tersebut dapat tercapai.

Sebagai sebuah buku dokumentasi yang bertujuan untuk mewujudkan visi besar, buku ini dicetak dalam kertas yang eksklusif dengan foto-foto berwarna yang indah dan memikat. Melalui foto-foto tersebut, para pembaca – khususnya para antropolog - dapat terbantu dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang terefleksi dari motif-motif kerajinan Melayu. Motif-motif tersebut mencerminkan bahwa orang Melayu sangat pintar membaca alam. Orang Melayu terlihat sangat imajinatif dan kreatif memindahkan keindahan bunga dan tanaman yang tumbuh di tanah Riau menjadi motif-motif songket, batik, bordir dan tekat, semisal motif pucuk rebung.

Selain tumbuh-tumbuhan, orang Riau juga sangat pandai menjadikan binatang sebagai motif kerajinan. Hewan seperti naga dan itik menjadi inspirasi mereka untuk dijadikan hiasan pada songket, tekat, atau batik. Hal ini membuktikan, selain dekat dengan alam, orang Riau juga dekat dengan binatang. Batik, yang salah satu motifnya menggunakan citra binatang, saat ini juga dijadikan sebagai salah satu seragam para pegawai negeri di Riau dan para guru di sekolah.

Selain songket dan batik, kebudayaan Riau juga kaya akan kerajinan anyaman dan ukiran kayu. Kedua ragam kerajinan ini jejaknya masih dapat disaksikan di rumah-rumah perdesaan Riau. Kedua kerajinan ini memadukan antara unsur ketelitian dan keindahan. Anyaman dan ukiran dibuat dengan ketelitian dan ketekunan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari wujud anyaman dan ukiran yang halus dan ukiran yang detil. Motif-motif seperti pucuk rebung banyak menghiasi ukiran kayu dengan sangat indah. Motif ukiran ini salah satunya dapat dinikmati pada bangunan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta, lembaga yang juga peduli terhadap tamadun Melayu.

Melayu sebagai sebuah kebudayaan besar dan memiliki pengaruh dalam peradaban bangsa-bangsa rumpun Melayu, patut dan penting untuk ditamadunkan lagi. Apa yang dilakukan oleh Dekranasda ini semoga tidak hanya berhenti pada penerbitan buku belaka karena kebudayaan Melayu membutuhkan perhatian yang serius, lebih dari sekedar penerbitan buku.

Satu hal yang sering dilupakan oleh pemerintah adalah pemberian penghargaan terhadap pelaku kebudayaan di perdesaan. Para pelaku kebudayaan ini biasanya mengabdikan hidupnya untuk kesenian, dengan alat musik seadanya dan dalam keadaan ekonomi yang kekurangan. Pemberian penghargaan terhadap mereka adalah hal yang penting karena pelestarian budaya tanpa menghargai pelakunya ibarat makan ikan tanpa memikirkan pembibitannya.


Penulis : Tim Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Riau
Editor : Mahyudin Al Mudra, S.H.,M.M.
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/186/Khazanah-Kerajinan-Melayu-Riau

24 Maret 2011

Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu

Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan

Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam PerubahanBuku ini adalah himpunan kajian tentang masyarakat dan budaya Melayu pada masa lalu dan masa kini, yang selanjutnya menjadi landasan untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Para penulis berusaha menjawab berbagai problematika yang menggayuti suku bangsa Melayu, dan sesungguhnya juga menggayuti suku-suku bangsa lain di nusantara: persoalan identitas dalam konteks masyarakat Indonesia – apa yang Melayu dan apa yang bukan Melayu (h. xxxix).

Kertas-kertas kerja di dalam buku ini pernah dibentangkan oleh masing-masing penulisnya dalam sebuah seminar kebudayaan di Riau pada tahun 1983. Kertas-kertas kerja tersebut dianggap penting untuk dihimpun kembali dalam sebuah buku karena identitas Melayu, yang diusahakan melalui kebudayaannya selama berabad-abad, hingga sekarang – dan mungkin juga hingga nanti – masih terus dikaji dan dibangun kembali oleh puak-puak Melayu.

Usaha untuk memahami Melayu adalah sebuah proses tanpa akhir karena Melayu, dan kemelayuan, adalah proses itu sendiri. Ketika kita berusaha membaca dan memahaminya, kita adalah bagian dari proses itu sendiri. Jadi, dapat dimafhumi jika hal-ihwal yang diungkapkan oleh kertas-kertas kerja pada tahun 1983 itu pun masih belum selesai hingga sekarang: masih dalam proses.

Usaha itu, dalam buku ini, dilakukan dalam bidang-bidang kebudayaan yang luas: bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, sastra dan sastrawan, naskah dan penelitinya, seni pertunjukan, kepribadian, adat-istiadat, organisasi sosial, teknologi, dan persepsi tentang Melayu oleh orang Melayu sendiri maupun oleh orang non-Melayu. Karena merupakan sebuah proses, maka simpulan-simpulan kertas kerja tersebut masih patut dicermati dengan sikap kritis.

Secara esensial maupun kontekstual, Melayu dan kemelayuan dapat ditemukan pada unsur-unsur kehidupan masyarakat Melayu dan budaya Melayu. Oleh karena itu, cara membaca dan memahami Melayu dan kemelayuan yang paling ideal adalah dengan menempatkan kedua hal itu dalam relasi dengan budaya-budaya yang lain.

Upaya pembacaan dan pemahaman Melayu dan kemelayuan melalui kepribadian terlihat sangat menarik. Orang Melayu konon memiliki ciri-ciri kepribadian yang unik, antara lain:



1. Lebih suka menyampaikan sesuatu secara tidak langsung, misalnya menggunakan pantun atau perumpamaan.
2. Lebih suka menahan diri dalam banyak hal, seperti misalnya dalam hal kekayaan atau penghasilan.
3. Orang Melayu memiliki sifat sentimental sebagaimana tercemin dalam lagu-lagu Melayu.
4. Gabungan dari berbagai kepribadian tersebut memberi kesan bahwa orang Melayu memiliki kepribadian introvert (tertutup).
5. Gabungan dari berbagai kepribadian tersebut justru melahirkan kepribadian lain orang Melayu, yaitu mereka suka damai dan toleran atau tolak-ansur. Namun, dibalik itu semua, jika orang Melayu merasa di
6. Lebih suka menghindari konflik dan ketidaknyamanan dalam interaksi sosial dengan menghindari kontak dengan individu-individu yang dianggap menyebabkan ketidaknyamanan tersebut.
7. rendahkan, untuk mempertahankan harga diri mereka terkadang muncul dalam perilaku “amuk” (amuk massa) (h. 441).

Globalisasi telah melanda dunia, termasuk Indonesia. Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan. Tidak sedikit unsur-unsur kebudayaan Melayu yang hilang dan punah akibat globalisasi. Tari Zapin misalnya, saat ini sudah sulit ditemukan. Demikian pula dengan Tari Jangger Sasak yang hanya menyisakan baju penarinya saja. Mencari penutur pantun-pantun Melayu seakan mencari jarum di jerami. Dalam kondisi ini, alih-alih memperkuat kebudayaan nasional, untuk mempertahankan identitas kebudayaan Melayu sendiri sudah menjadi perjuangan yang membutuhkan tenaga ekstra.

Permasalahannya adalah, pembacaan Melayu dari sisi identitas masih menjadi sesuatu yang sensitif karena hingga saat ini identitas Melayu masih terus diperdebatkan. Pengerucutan identitas Melayu yang terhegemoni oleh pandangan parsial dirasa justru akan menjebak Melayu pada kontradiksi sejarahnya, di mana Melayu pernah bersentuhan dengan berbagai agama, kekuasaan, dan teknologi. Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak heran bila pengkaji Melayu, seperti Mahyudin Al Mudra, melontarkan gagasan mengenai pentingnya redefinisi Melayu.

Penulis : Prof. Dr. Koentjaraningrat, dkk
Editor : Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A
Penerbit : Adicita Karya Nusa, Yogyakarta
Sumber: http://www.adicita.com/resensi/detail/id/144/Masyarakat-Melayu-dan-Budaya-Melayu-dalam-Perubahan.

23 Maret 2011

Suku Akit (Riau)

Suku Bangsa Akit (Riau)

Rumah suku akitOrang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.

Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa. Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.

Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama beberapa bulan.

Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.

Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan menetap ke daerah ini.

Sumber:
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foto: selatbaru-bengkalis.blogspot.com

22 Maret 2011

Bilik Melayu Perpustakaan Soeman HS

Bilik Melayu  Perpustakaan Soeman HSBagi anda yang ingin mengetahui semua tentang dunia Melayu, kunjungi saja Bilik Melayu di lantai tiga perpustakaan Soeman HS. Disana banyak sekali terdapat koleksi-koleksi buku tentang Melayu, khususnya di Riau.

Mulai dari buku sejarah, geografi, sampai tentang kemelayuan. Selain itu, koleksi pengarang-pengarang lokal di Riau seperti Tenas Efendi dan Prof Isjoni, bisa ditemukan juga. Koleksi melayu di luar negeri, seperti melayu di Singapura dan Malaysia, Bilik Melayu mempunya beberapa koleksinya.

Bagi para pengunjung yang ingin mencari referensi buku-buku melayu, di Bilik Melayu lah bisa mendapatkannya. Buku-buku tersebut bisa kamu baca langsung disana dan dapat dibawa pulang dengan memfotokopi buku tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Pustaka Soeman Hs. Nah tunggu apa lagi. Ayo kunjungi Bilik Melayu di Pustaka Wilayah Soeman Hs Sekarang. Cari tahu banyak buku tentang Riau.

21 Maret 2011

Ungkapan Bahasa Melayu Natuna

Ungkapan Bahasa Melayu dalam Natuna

Mali melanggah kubo
Nandek tebengun kepaleu ayah
Mali melangkah kubur
Nanti terbangun kepala ayah

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan (Allah) yang paling tinggi derajadnya. Ketinggian derajad itu ditandai oleh akal yang dimilikinya. Dengan akalnya itulah manusia menumbuh-kembangkan kebudayaan yang berfungsi sebagai acuan untuk menghadapi lingkungannya dalam arti luas. Dalam berinteraksi dengan sesamanya misalnya, dalam hal ini satu dengan lainnya, tidak hanya saling-menghormati ketika seorang manusia masih hidup di dunia. Ketika seseorang mati pun masih dihormatinya. Hal itu tercermin dari ungkapan yang mengkaitkan antara kuburan dan ayah. Ayah, sebagaimana kita tahu, bagi seorang anak adalah “segalanya”. Ia tidak hanya sebagai “pengukir”, tetapi juga sebagai pengarah dan pembimbing yang sejati. Melangkahi kubur dapat diartikan sebagai tidak menghormati kepada orang tuanya (ayahnya). Dengan demikian, nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah nilai kemanusiaan.


Mali maki ughang lah mati
Nandek lah mati kenak sikseu

Mali memaki orang yang sudah mati
Nanti sudah mati kena siksa

Mati artinya menjalani kehidupan lain (akhirat). Agar yang mati dapat mempertanggungjawabkan tentang apa yang dilakukan pada waktu masih hidup (di dunia), maka pesan yang terdapat dalam ungkapan ini adalah semestinya tidak perlu diperbincangkan keburukannya (dimaki) karena hal itu hanya akan menyiksa si mati itu sendiri. Dan, sebagai orang yang beriman tentunya tidak melakukannya. Ungkapan ini, dengan demikian, mengandung nilai keihklasan.


Mali nyikseu kuceng
Nandek maghah Nabi

Mali menyiksa kucing
Nanti marah Nabi

Kucing, sebagaimana halnya manusia, adalah makluk ciptaan Tuhan. Sebagai sesama makluk tentunya harus saling menghargai. Apalagi, kucing sebagaimana kita tahu, adalah binatang kesayangan Nabi Muhammad S.A.W. Menyiksa kucing, dengan demikian dapat diartikan sebagai tidak menghargai sesama makluk hidup dan sekaligus tidak menghormati junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W. Jadi, ungkapan ini mempunyai pesan jangan semena-mena terhadap sesama makluk hidup. Ungkapan ini, dengan demikian, mengandung nilai penghormatan, baik kepada sesama makluk hidup maupun junjungan kita Nabi Besar Muhammad S.A.W.


Mali kemeh ngadep kiblet
Nandek benggak butoh

Mali kencing menghadap kiblat
Nanti bengkak kemaluan laki-laki

Kiblat adalah arah yang dituju bagi para muslim untuk bersembahyang. Ini artinya, arah ini sakral. Sehubungan dengan itu, pesan yang ingin disampaikan melalui ungkapan ini adalah sebagai arah yang sakral tentunya tidak pantas untuk dikotori (dikencingi). Dengan demikian, ungkapan ini mengandung nilai kesakralan atau penghormatan terhadap sesuatu yang sakral.


Mali nyipak Al Quran
Nandek tulah

Mali menyepak Al Quran
Nanti bengkak/kembung perut

Al Quran adalah kitab suci orang Islam. Sebagai sesuatu yang suci tentunya harus diperlakukan sebagaimana mestinya dan bukan disepak. Sehubungan dengan itu, pesan yang ingin disampaikan dalam ungkapan ini adalah menyepaknya berarti sama saja tidak menghormati kitab suci dan sekaligus orang Islam. Sehubungan dengan itu, maka ungkapan ini mengandung nilai penghormatan terhadap kitab suci dan sekaligus pemiliknya.


Maki endik puase
Nandek lah mati minom aek lio besek ughang puase

Mali tidak puasa
Nanti mati minum air liur basi orang puasa

Rukun Islam itu ada lima, yakni: mengucap dua kalimat sahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji. Puasa, dengan demikian, merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh orang Islam. Pesan yang ingin disampaikan melalui ungkapan ini adalah orang Islam harus berpuasa; sebab kalau tidak, dikemudian hari akan mendapat siksa. Ini diungkapkan sebagai ‘nanti mati minum air liur basi orang puasa”. Dengan demikian, ungkapan ini mengandung nilai kewajiban untuk melakukan sesuatu yang bersifat wajib.


Mali makan petang haghi
Nandek luta lih andu dengen taik

Mali makan petang hari
Nanti dilontar oleh hantu dengan tahi

Petang hari sangat erat kaitannya dengan suasana yang remang-remang. Apa yang ingin disampaikan melalui ungkapan ini adalah makan dalam suasana yang demikian bisa saja akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi, saat-saat yang demikian adalah saat-saat untuk bersiap-siap melakukan solat magrib. Ungkapan ini, dengan demikian, mengandung nilai preventif.


Mali makan tebu petang aghi
Nandek mati mak

Mali makan tebu petang hari
Nanti mati mak

Petang hari, sebagaimana telah disebutkan pada bagian atas, adalah saat-saat pergantian dari siang ke malam. Oleh karena itu, suasananya remang-remang. Makan sesuatu, apalagi tebu yang harus dikupas, tentu saja dapat menimbulkan hal-hal yang tidak ingin (tergores benda tajam). Disamping itu, kulitnya berserakan. Ungkapan ini, dengan demikian, mengandung pesan agar makan sesuatu disesuaikan dengan situasi. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya adalah kehati-hatian.


Mali nyenyi petang haghi
Nandek tegigit butoh andu

Mali menyanyi petang hari
Nanti tergigit butuh (zakar) hantu

Petang hari, sebagaimana dikatakan di atas, suasananya remang-remang. Sementara menyanyi dengan sendirinya mengeluarkan suara. Menyanyi itu sendiri tidak dilarang, asal sesuai dengan situasi dan kondisinya. Petang hari, bagi orang muslim, adalah waktunya untuk menunaikan ibadah (sholat) magrib. Oleh karena itu, pada saat-saat seperti ini bukan waktunya untuk menyanyi, tetapi membersihkan diri guna menunaikan sholat magrib. Jadi, pesan ungkapan ini adalah agar seseorang menghormati orang lain yang sedang melakukan sholat. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalamnya adalah toleransi (tenggang rasa).


Mali semeyang delem gelep
Nandek jedi andu

Mali sembahyang dalam gelap
Nanti jadi hantu

Pesan ungkapan ini agar sholat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Tidak dalam gelap, melainkan di tempat yang terang sehingga sholat dapat dilakukan secara benar. Ini artinya, ungkapan tersebut mengandung nilai ketertiban. Dengan perkataan lain, jangan melakukan sholat secara asal, tetapi sesuai dengan syarat dan rukunnya.


Mali nyughek mende ughang
Nandek lah mati kenak keghat tangan

Mali mencuri benda orang
Nanti lah mati kena kerat tangan

Pesan ungkapan ini agar menjadi amanah, dapat dipercaya, tidak semena-mena terhadap hak orang lain. Dengan demikian, nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menghormati hak dan atau milik orang lain.


Mali naek cok betang betek
Nandek kenak bughut

Mali naik pucuk (atas) batang betik (pepaya)
Nanti kena burut (bengkak pelir)

Pucuk batang pepaya mudah patah dan karenanya berbahaya untuk dinaiki. Ungkapan ini, dengan demikian, mempunyai pesan agar jangan naik pohon yang mudah patah, khususnya pepaya, karena sesuatu yang tidak diinginkan dapat saja terjadi. Sehubungan dengan itu, maka ungkapan ini mengandung nilai kehatian-hatian.


Mali meludih ughang
Nandek kenak kughap

Mali meludah orang
Nanti kena kurap

Air ludah adalah sesuatu yang menjijikan. Meludahi orang lain berarti menghinanya. Dan, ini dapat membuat yang diludahi menjadi marah, sehingga terjadi keributan. Oleh karena itu, jangan meludahi orang. Dengan demikian, nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menghargai sesama manusia.


Mali nyipak ughang
Nandek ghundot betes

Mali menyepak orang
Nanti runtut (bengkak) betis

Menyepak (menendang) orang dapat membuat yang disepak marah, sehingga dapat menimbulkan keributan. Oleh karena itu, perbuatan ini tidak patut dilakukan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah menghormati sesamanya.


Mali ngambik mende lah beghik dengan ughang
Nandek bughuk siku

Mali mengambil benda sudah diberi orang
Nanti buruk siku

Mengambil benda yang telah diberikan kepada seseorang dapat membuat yang bersangkutan tersinggung. Oleh karena itu, apa yang diberikan kepada orang lain jangan diminta lagi. Dengan demikian, nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah keikhlasan.


Mali makan beghes mandak
Nandek kenak sakit kuneng

Mali makan beras mentah
Nanti kena sakit kuning

Beras adalah buah yang tidak dapat langsung dimakan sebab keras, sehingga dapat menganggu pencernakan. Ia mesti dimasak lebih dahulu baru dimakan. Oleh karena itu, beras yang masih mentah jangan dimakan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah kesehatan.


Mali duduk cok kupek
Nandek kenak bisol

Mali duduk di atas bantal
Nanti kena bisul

Bantal adalah perlengkapan tidur yang digunakan untuk menahan kepala. Jadi, bukan untuk pantat. Oleh karena itu, duduk di atas bantal tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah penempatan sesuatu sesuai fungsinya.


Mali nungeng tepayan beghes
Nandek laghi semengat

Mali menungging tempayan beras
Nanti lari semengat (keberkahan)

Beras adalah makanan pokok masyarakat Bunguran-Natuna. Sebagai sesuatu yang kemudian dimakan tidak sepantasnya ditunggingi. Oleh karena itu, menungging tempayan beras tidak diperbolehkan karena, walaupun ia merupakan tempat, tetapi ia sangat erat kaitannya dengan makanan, sehingga menunggingi tempayan beras sama saja menunggingi makanan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini adalah memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya.


Mali meka padi
Nandek sumbah lih semengat-e

Mali membakar padi
Nanti disumpah oleh semengatnya (keberkahannya)

Membakar padi sama dengan membunuh diri karena padi yang kemudian menjadi nasi adalah makanan pokok masyarakat Bunguran-Natuna. Di samping itu, padi ada yang “menjaganya”. Oleh karena itu, membakar padi disamping merugikan diri sendiri dan masyarakat, juga dapat membangkitkan kemarahan yang menjaganya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah keselamatan.


Mali makan sambil bejelen
Nandek kujud

Mali makan sambil berjalan
Nanti kujud (tidak pernah cukup)

Makan sambil berjalan menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya, makanan tumpah. Selain itu, makan sambil berjalan dianggap tidak sopan. Oleh karena itu, makan sambil berjalan tidak diperbolehkan. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini, dengan demikian, adalah keselamatan dan kesopanan.

Sumber:
Galba, Sindu dan Sudiono. 2004. Ungkapan Tradisional Masyarakat Melayu-Natuna. Kepulauan Riau: kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Asdep Tradisi.

Mali seringkali diartikan sebagai “pantang”, “susah”, “jangan” atau “tidak boleh”. Namun demikian, kata-kata tersebut rasanya tidak pas betul, karena kata mali di dalamnya mengandung kekuatan magis. Sebagai contoh, jika seseorang dilarang dengan menggunakan kata “jangan”, “tidak boleh”, dan lain sebagainya, maka yang bersangkutan akan biasa-biasa saja. Bahkan, mungkin akan melakukan juga. Namun, jika yang didengarnya adalah kata mali, maka yang bersangkutan akan mentaatinya, karena di balik kata itu ada kekuatan magis, yang apabila dilanggarnya, diyakini dapat menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan.

Baca Buku Tentang Riau

Buku tentang RiauMEMBACA memang banyak manfaat yang bakal didapat. Kalau yang suka membaca novel, komik, buku homor, pastinya bakal terhibur. Yang suka baca buku pelajaran, pasti ilmu dan wawasannya juga makin bertambah. Yang baca koran, majalah, pastinya juga bakal menambah wawasan dan informasi yang ter-update.

Nah, kalau untuk buku tentang Riau gimana? Suka nggak bacanya ?? Hmm...sebagai warga Riau yang baik, hehe, kamu juga harus tahu tentang Riau. Walaupun bukan orang asli, tapi kamu wajib tahu tentang daerah tempat tinggalmu ini. Seperti motto yang pernah kamu dengar, ‘’Dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung’’. Hihihi, malu bangetkan, kalau sudah tinggal di Riau, tiba-tiba ada yang nanyakin tentang Riau, kamu nggak bisa jawab. Wah.. jangan sampai la ya.

Buat para rekan-rekan yang sudah lama tinggal di Riau, nggak ada salahnya dong, sekedar pengetahuan semua hal yang berbau tentang Riau khususnya budaya Melayu. Seperti adat istiadat,seni kebudayaan, serta hal-hal yang berbau tentang kemelayuannya. Seperti yang telah dikatakan Jenny Zuliantika, siswi SMAN 7 Pekanbaru. Walaupun, doski bukan asli orang Melayu, tapi Jenny juga mengetahui sedikit tentang budaya Melayu. Mulai dari adat istiadatnya sampai makanan khas Melayu.

“Di sekolah, memang diajarkan budaya Melayu. Tahu sedikitlah tentang Melayu. Hehe. Itu juga karena, aku punya bukunya. Jadi bisa dibaca, kalau lagi pengen baca,”ujar Jenny.

Alfian Bahri, siswa SMAN 1 Pekanbaru juga sama seperti Jenny. Kalau Alfian, doski paling suka baca buku yang cerita rakyatnya. Seperti Hangtuah dan Lancang Kuning. “ Pernah baca kok. Tapi yang cerita Rakyatnya aja. Cerita rakyat lancang kuning dan Hangtuah. Di perpustakaan sekolah bacanya.”

Sumber: Riau Pos

11 Maret 2011

PON XVIII Tahun 2012 Provinsi Riau Multi Even Penyelenggaraan Moderenisasi Termegah

Perjalanan PON atau Pekan Olahraga Nasioanl diawali dengan penyeleggaraan PON I di Solo pada tahun 1948. Dipicu oleh kegagalan partisipasi atlet Indonesia pada Olimpiade XIV tahun 1948 di London karena belum adanya pengakuan kedaulatan secara luas di kalangan Internatioanal.

Pesta Olahraga multi event nasioanal ini dilaksanakan dengan maksud untuk menunjukkan eksistensi Repuplik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sekaligus sebagai upaya untuk memperkuat rasa persatauan bangsa. Di masa selanjutnya, selain untuk mempererat persatuan nasional PON diselenggarakan setiap empat tahun sebagai tolok ukur pencapaian prestasi olahraga nasional Indonesia.

PON XVIII Insyaallah diselenggarakan pada tanggal 09 September 2012 di Provinsi Riau rencana dibuka oleh Bapak Presiden RI dan penutupan ole Bapak Wakil Presiden RI pada tanggal 20 September 2012.
Untuk yang kelima kalinya pesta olahraga multi even dan modernisasi tingkat nasional ini dilangsungkan di luar jawa,setelah PON III tahun 1953 di Medan,PON IV tahun 1957 di Makasar,PON XVI tahun 2004 di Palembang dan PON XVII di Kalimantan Timur.

Pada PON XVIII tahun 2012 di Riau nanti yang dipertandingkan sebanyak 39 cabang olahraga dengan lokasi pertandingan yang tersebar di Pekanbaru, Bengkalis, Dumai, Siak, Pelalawan, Kampar,Rokan Hulu,Indragiri Hulu,Indragiri Hilir,dan Talukkuantan.

Logo yang di tetapkan adalah Perahu Lancang Kuning dan Maskot penyelenggaraan PON kali ini adalah burung Serindit sebagai satwa khas dari Riau.
 
Slogan PON adalah Menuju Modernisasi Penyelenggaraan PON XVIII Tahun 2012 di Provinsi Riau, dengan Moto : Catur Sukses PON XVIII Tahun 2012 yaitu Sukses Penyelenggaraan,Sukses Prestasi,Sukses Promosi Daerah dan Sukses Ekonomi Kerakyatan.

Untuk memperingati penyelenggaraan pesta olahraga termegah tingkat nasional tersebut,maka bertepatan dengan tanggal pembukaannya diterbitkan prangko seri PON XVIII, Desain prangko yang diajukan menampilkan Stadion Modern yang berkapasitas setara klas dunia,serta menampilkan cabang olahraga yang diunggulkan diantaranya, Dayung, Senam, Menembak, Takraw, Angkat Besi, Binaraga dan Terjun Payung.

Stadion Utama Riau  adalah venues utama penyelenggaraan PON XVIII Stadion   yang   terletak  di   Pekanbaru  ini   menjadi   tempat   upacara pembukaan dan penutupan serta pertandingan  sepak  bola Dengan  kapasitas  yang  bisa  menampung  sekitar  40  ribu  penonton serta   prasarana     pendukung  modrenisasi, stadion  ini  dinilai  sangat  Representatif untuk penyelenggaraan event olahraga berskala  nasional maupun internasional. (Zainuddin.S-Pos)

Sumber : Terubuk

08 Maret 2011

Soal Kelangkaan Premium di Riau

Soal Kelangkaan Premium di RiauApa Kata Facebooker Soal Kelangkaan Premium di Riau?

San-san's De Geckoyers Huaaaaaaa.... Bsa tekor gw klw bli di eceran ne..... Nasib anak.anak yg kos gmna,Btw,knapa bsa krisis...?. T.T

SeMut MeRah
wkwkwk. . . . , .
Tetangga w bru beli di eceran ne !
1 1/2 liter 20rbu !!
Busett dah. . . , . .
Dmana kalian timbun minyak tu. . . . . . .
...
K0ta minyak k0k krisis minyak !
Pie t0h. . . .

Alfa Roby pindah ke pertamax sih gpp
tpi bkan prmium di buat lngka dong, hbiss dspbu yg d plsok kn blm tntu jual pertamax!!!!
dsar oon tu pmrintah

Risky Hendrawan Ironissssss,bawah minyak,atas minyak,,ehhh tengah2 langka#Riau ada apa dg mu,Bisa Lumpuh Perekonomian kalau kyak gini

Haryadi Andesko Memang lah ya,,,,,, negeri minyak kok bisa kekurangan minyak,,,,,, ada apa gerangan...kalu bisa diganti dgan air ya gk pa2 musim hujan gini...... Mang harus berpikir dua kali tuk memakai bensin kalau seperti ini terus,,,,,,,

Masih banyak lagi komentar Facebooker, bisa dicek disini dan disini.

01 Maret 2011

Blogger Pekanbaru Rayakan Ultah ke-2

Ulang tahun ke-2 Blogger Bertuah Pekanbaru 2Terharu rasanya jika mengenang dua tahun silam, ketika untuk pertama kalinya para Blogger Pekanbaru berjumpa di taman terbuka depan Gedung Riau Pos. Walau terkadang sedih juga melihat kondisinya tapi menjadi langakah awal terbentuknya Blogger Bertuah.

Sebelum Kopi Darat (Kopdar) sesama Blogger asal Kota Pekanbaru pada waktu itu, 28 Februari 2009, Admin PekanbaruRiau.Com punya keinginan membentuk komunitas Blogger Riau, jauh sebelum itu. Sampai suatu ketika bertemu Emo (dulu Nanlimo) di Bandra Serai, Blogger pertama yang dijumpai secara offline.

Sejak saat itu Admin web ini semakin bersemangat untuk mengumpulkan rekan-rekan sesama Blogger dan membentuk suatu ikatan seperti sebuah komunitas. Soalnya Admin iri, hampir semua daerah punya komunitas Blogger sendiri, malahan Pekanbaru sudah dikangkangi oleh Batam dan bahkan Kuantan Singingi!

Maka konsolidasi digencarkan. Emo yang kebetulan banyak kenalan Blogger Pekanbaru dan sudah pula memprakarsai berdirinya Blogger Kuansing, terus kontak-kontaan dengan Admin dan Blogger lain. Sementara Hendrawan ini, hanya stay tune di kantor Riau Pos. Itulah sebabnya diusulkan taman depan Riau Pos sebagai tempat berkumpul.

Kopdar pertama sukses, secara pribadi sangat senang sekali dan puas. Seingat Admin, yang pertama kali datang (tentulah tuan rumah) itu Emo karena dia yang baru dikenal dan temui, lalu nyusul Bang Ais yang juga sudah lama ngintip kami, rupanya di dekat situ juga, sekitar taman ada Bang Fiko, Prof Ijo dan Bang Tengku.

Kopdar kedua langsung memasang agenda pembentukan organisasi. Lokasi, sesuai kesepakatan kopdar pertama yang berlangsung malam minggu 28 Februari itu, di Masjid Agung An-Nur. Disitulah hadir Om Atta dan yang lainnya, sementara terpilih Bang Fiko dan Bang Ais sebagai ketua dan wakil ketua Blogger Bertuah hingga kini.

Setahun bernama Bertuah memang belum ada ''nama'' walaupun sudah membuat beberapa iven seperti lomba SEO dan beberapa kegiatan lainnya. Tapi tetap, ulang tahun pertama Blogger Pekanbaru sangat mengesankan.

Hampir masuk tahun kedua, Blogger Bertuah mulai berakar. Telkom memberikan kepercayaan kepada Bertuah dengan menjalin kerjasama, pengesahan MoU ini dihadiri oleh institusi pemerintah lho! Dan acaranya diberitakan koran terbesar di Riau, Riau Pos. Oleh karena itu juga, untuk pertama kalinya Bertuah punya sekre tetap tidak pindah-pindah lagi kopdarnya, ya setelah hampir dua tahun.

Pada hari ini Blogger Bertuah genap berusia dua tahun. Hijau masih memang, tapi hari ini Blogger Bertuah sudah memperlihatkan eksistensinya sebagai sebuah komunitas yang telah diterima di tengah-tengah masyarakat kota Pekanbaru, bahkan Riau. Ulang tahun kedua ini-pun dirayakan di Mal Pekanbaru, dilihat oleh banyak orang dan dipublikasikan di media kota, Tribun Pekanbaru.

Blogger Bertuah, selamat ulang tahun. Semoga keberadaan kita semakin diakui dan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perkembangan IT dan internet di Riau. Amin.

Hendrawan, Pioneer, salah seorang pengagas (Hulubalang) berdirinya Bertuah, Komunitas Blogger Pekanbaru.

Banyak Dibaca