23 September 2010

Calon Walikota Pekanbaru 2011 versi PKS

Calon walikota Pekanbaru 2011, PKS DPD Kota PekanbaruPemilihan Kepala Daerah Kota (Pilkada) Pekanbaru 2011 tidak lama lagi. Nampaknya Partai Politik (Parpol) yang ’’punya’’ kursi di DPRD mulai memanaskan mesin menuju pemilihan Walikota Pekanbaru untuk masa jabatan 2011-2016.

Salah satu Partai itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS, seperti diberitakan Media, akan menyodorkan calon Walikota sendiri untuk bersaing di pemilihan walikota Pekabaru 2011-2016 mendatang.
Metro Riau:
Partai Keadilan Sejahterah (PKS) Kota Pekanbaru mengumumkan lima nama kader yang akan dipilih dalam Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) tanggal 18 Juli lalu. Dari lima nama akan dipilih 2 nama yang nantinya akan diserahkan ke Dewan Pimpinan Pusat PKS.

Lima nama tersebut antara lain, Ketua Fraksi PKS DPRD Provinsi Riau yang juga mantan calon wakil walikota Pekanbaru tahun 2006 Ayat Cahyadi, wakil Ketua DPRD Kota Pekanbaru Dian Sukheri, Wakil Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Pekanbaru Muhammad Fadri AR, Sekretaris DPW PKS Riau Suroyo SPI, dan Humas DPW PKS Riau, H Mansyur.

''Dari lima nama ini dalam rapimda akan dipilih dua orang yang akan kita kirimkan ke DPP. Nantinya DPP lah yang akan memutuskan siapa yang akan maju pada Pilkada Walikota Pekanbaru, baik sebagai calon walikota maupun sebagai wakil walikota,'' ujar Yusriadi SE, Ketua Rapimda PKS yang ditemui di gedung balai payung sekaki.


Namun rencana PKS mengajukan calon waliko Pekanbaru 2011 bakal tersandung, pasalnya syarat banyak kursi sebuah Partai Politik untuk mengajukan calon walikota tidak bisa dipenuhi oleh PKS untuk Pilkada kota Pekanbaru 2011 nanti.

Untuk mewujudkan ambisi ini PKS sudah intens menjalin komunikasi dengan beberapa partai dan bakal calon walikota yang disebut-sebut akan maju pada Pilkada Walikota Pekanbaru 2011. Namun PKS pasang target Pekanbaru 1, alias calon walikota seperti yang disampaikan oleh Yusriadi SE, Ketua Rapimda PKS dikutip dari Harian Metro Riau.

‘’ Kalo kita mengingkan nomer satu, namuan tergantung dari perkambangan selanjutnya,’’ ujarnya.


Semoga pada laga Pilkada pada tahun 2011 nanti PKS bisa lebih mujur dari tahun lalu. Sebagai informasi, pasangan calon yang didukung PKS pada Pilkada 2005 lalu, Erwandy Saleh – Ayat Cahyadi kalah dari pasangan calon walikota yang diusung oleh koalisi partai diantaranya Golkar, Herman Abdullah – Erizal Muluk.

20 September 2010

Kerajaan Melayu Riau

Kerajaan Melayu Riau Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?

Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (bersambung)

Judul asli: Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Tulisan Jurnalistik Rida K Liamsi: Dari Seminar Kebudayaan Melayu

19 September 2010

Festival Lampion Pekanbaru 2010

Masykarakat kota Pekanbaru, khususnya marga Tionghoa (China) kembali akan mengadakan Festival lampu Lampion. Seperti festival lampion tiap tahunnya, festival kali ini akan diramaikan beribu lampu lampion dan dekorasi-dekorasi yang menarik hasil dekorasi lampion.

Festival lampu Lampion tahun ini, 2010, di Pekanbaru direncanakan akan diadakan di Jalan Karet Ujung. Biasanya setiap tahunnya Festival ini akan dihadiri banyak pengunjung. Apalagi festival kali ini diadakan setelah kota Pekanbaru kembali dipadati masyarakat pasca lebaran, libur berakhir.

Berikut foto foto Festival Lampion Tahun-tahun silam:

Festival Lampion 2010 di PekanbaruLampion dalam berbagai bentuk


Festival Lampu Lampion Pekanbaru 2010Lampion Tugu - Naga


Festival Lampion 2010Lampion tangga - pintu gerbang


Festival Lampion Pekanbaru 2010Lampion berbentuk pintu gerbang dari kejauhan


Apa Makna Lampion bagi Orang TiongHoa (China)?
Bagi warga keturunan Tionghoa semua hal selalu memiliki makna. Mulai dari tata letak ruangan, berbagai ritual tradisional, warna, hingga aksesoris.

Chinese lampion pun, sebagai salah satu bentuk lampu, memiliki makna, arti. Lampion melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki. oleh karenanya lampion selalu ada, terutama pada momen-momen besar, seperti imlek, Cap Go Meh dan lain-lain.

10 September 2010

Suara Mahasiswa

Anda mahasiswa yang kritis, berpengaruh, calon pemimpin masa depan, sang pembaharu, Agent of Change? Tuangkan opini dan pikiran kritis Anda tentang segala hal yang bersangkutan dengan pembangunan, pendidikan, dan setiap keputusan-keputusan pemerintah ke dalam web kami, agar tulisan dan buah pikiran Anda dibaca oleh dunia.

Kirim tulisan anda melalui kolom dibawah ini:


Nama
Email dan Alamat
Judul Tulisan
Isi



Jangan lupa untuk menyantumkan nama lengkap Anda, bila perlu kirimkan/upload juga foto Anda di Facebook kami disini. Bisa juga mengirimkan tulisan dan foto ke alamay email kami di: awanhendra@gmail.com.
Jangan sungkan-sungkan untuk bertanya kepada kami mengenai hal ihwal yang ada dipikiran Anda, melewati kontak kami.

08 September 2010

Infrastruktur Pendukung PON XVIII 2012

Infrastruktur Dibangun Jelang PON XVIII 2012Infrastruktur Pendukung perhelatan PON XVIII Riau 2012 segera akan dibangun. Bahkan anggaran yang digunakan untuk membangun sudah diperdakan oleh pemerintah provinsi Riau.

Riau Pos:
Pengesahan Perda pembangunan infrastruktur penunjang PON 2012 Provinsi Riau membawa implikasi besar terhadap perubahan wajah Kota Pekanbaru. Sejumlah prasarana baru akan mengubah wajah kota ini.
Diantara infrastruktur penunjang suksesnya PON XVIII Riau 2012 yang akan dibangun adalah jembatan Siak III, Siak IV, pelebaran ruas Jalan Yos Sudarso, Pembangunan fly over Sudirman-Tuanku Tambusai serta Sudirman-Imam Munandar, Main Stadium serta akses Jalan Naga Sakti sebagai koridor depan menuju Jalan SM Amin.

Kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Ir H Firdaus MT:
Selain itu jembatan Siak IV yang menghubungkan ujung Jalan Sudirman-Meranti Pandak, segera dibangun. Dua unit jalan layang (fly over) juga turut disahkan. Yaitu fly over di persimpangan Jalan Sudirman-Imam Munandar serta persimpangan Jalan Sudirman-Tuanku Tambusai.
Jembatan Siak IV menghubungkan Jalan Sudirman yang terputus itu dibangun dengan konsep modern namun tangguh. Panjangnya 830 meter, lebarnya 24 meter, ada dua jalur dengan empat lajur. Konstruksinya memakai cable stay dengan hanya satu pilon. Infrastruktur penunjang PON tersebut akan selesai dan sudah bisa dilihat pada tahun 2011.

Paket pembangunan jembatan Siak IV juga akan dilengkapi dengan pembangunan jalan akses sepanjang 3,2 kilometer. Jalan akses ini akan menghubungkan ujung jembatan di Meranti Pandak ke Jalan Sembilang dan juga ke Jalan Yos Sudarso.

Sumber: Riau Pos

07 September 2010

Festival Lampu Colok Bengkalis

Festival Lampu Colok Bengkalis 2010Festival Lampu colok yang digelar setiap tahunnya di Bengkalis, mengunggulkan ciri khas kreativitas kedaerahan. Di Bengkalis, lampu colok yang mencolok bersinar adalah berbentuk gapura colok. Festival lampu colok di Bengkalis digelar oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Melalui festival ini juga diharapkan menjadi daya tarik orang untuk datang ke Bengkalis atau perantau pulang ke kampung halaman.

"Colok merupakan warisan budaya nenek moyang kita. Kita harapkan event ini menjadi daya tarik orang untuk datang ke Bengkalis atau keluarga kita untuk pulang ke kampung halaman," ujar Bupati Bengkalis yang diwakili Plt Sekretaris Daerah H Mukhlis ketika membuka Festival Lampu Colok yang dipusatkan di Desa Penampi, Kecamatan Bengkalis, Minggu malam (5/9).

Dijelaskan Mukhlis, awalnya colok itu dibuat oleh nenek moyang kita menggunakan tempurung kelapa. Kemudian berkembang menggunakan bambu (obor). Tujuannya waktu itu, selain untuk memeriahkan tiga malam terakhir Ramadhan, juga berfungsi untuk menerangi kampung karena belum ada listrik.

Seiring perkembangan waktu, lanjut Mukhlis, di zaman modern ini colok sudah dimodifikasi sedemikian rupa menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah, disusun atau dirangkai dalam berbagai bentuk seperti mesjid, bulan bintang dan sebagainya sehingga terlihat menarik dan bernuansa Islami.

Festival Lampu Colok Dilombakan
Pantauan di lapangan, di sejumlah ruas jalan di Kota Bengkalis tampak indah dihiasi lampu colok dengan beraneka ragam bentuk. Lampu-lampu ini akan dihidupkan selama tiga malam berturut-turut, mulai pada malam 27 Ramadhan atau sering disebut oleh masyarakat Bengkalis malam tujuh likur.

Warga tampak antusias menyaksikan keindahan lampu colok yang telah didesain sedemikian rupa sehingga kelihatan menarik dan cantik, terutama jika dilihat dari jarak agak kejauhan. Untuk merangsang minat masyarakat untuk berpartisipasi mengikuti festival ini, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, menyediakan hadiah jutaan rupiah.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, H Hermizon ketika ditemui di sela-sela acara, ada beberapa kriteria yang menjadi penilaian tim. Antara lain, bangunan atau gapura colok, arsitektur yang bernuansa Islami, kebersihan, kepengurusan dan lainnya.

“Gapura colok juga kita ingatkan jangan sampai memakan badan jalan terlalu banyak, karena akan mengganggu pengguna jalan, dan ini akan menjadi bahan penilaian kita,“jelas Hermizon.

Festival itu sendiri kata Mizon, berlangsung di ibu Kota Kabupaten Bengkalis sekitarnya, mulai malam 27 sampai malam 29. “Pada tiga malam itu akan ada tim yang langsung turun menilai seluruh colok. Tim penilai itu sendiri gabungan dari beberapa instansi,” imbuhnya.

Panitia kata Mizon, tidak membatasi jumlah kelompok yang ikut ambil bagian. Bisa saja dalam satu desa atau kelurahan sampai tiga atau empat gapura colok, masing-masing gapura colok akan dinilai.”Bisa saja dalam satu kelurahan merebut semua juaranya, yang pasti tidak ada penggabungan dalam penilaian,” terangnya.

Sumber: Riau Mandiri

06 September 2010

Sate, Sup, Masakan Daging Rusa di Pekanbaru

Sate Rusa Era 51 Pekanbaru, sup rusa, masakan daging rusaBagi anda penggemar sate pasti sudah tidak asing dengan sate-sate pada umumnya seperti sate ayam, daging sapi atau kerbang dan sate kambing. Tapi bagimana dengan sate rusa?

Memang, sate rusa agak sulit dicari di kota manapun. Selain karena sangat jarang sekali orang yang berternak rusa, untuk menemukan rusa itu sendiri tidak lah mudah. Apalagi menemukan rusa di hutan - hutan daratan Riau yang sudah hampir punah keseluruhannya ini.

Tapi bagi anda penggila sate jangan bersedih dahulu ya, apalagi bagi yang-tinggal di kota Pekanbaru. Karena ternyata di Pekanbaru ada penjual sate rusa. Sejauh ini sate rusa baru diketahui disediakan di Warung Era 51 beralamat: Jln. Kaharuddin Nasution no 31, Pekanbaru.

Pada mulanya Warung Era 51 tidak menyediakan sate rusa melainkan sate kambing.
Namun sejak sang pemilik memperkenalkan masakan rusa seperti: sate rusa, sop rusa, nasi goreng rusa, dan dendeng rusa, para pengunjung lebih tertarik pada menu-menu rusa tersebut dibandingkan daging kambing. Tak heran jika dalam seminggu tempat kuliner ini bisa menghabiskan tiga ekor daging rusa.

Daging rusa ada didapat dari pasar dan orang yang sengaja menangkap rusa untuk di jual ke Era 51. “Orang orang yang makan di sini Cuma orang orang yang sudah tahu saja kalau Era 51 menjual sate rusa,” tambah Kamto. Karena di papan namanya tidak dijelaskan sama sekali di sana menyediakan hidangan dari rusa. Namun jangan kira, warung ini sepi pengunjung. Pengunjung yang gemar hidangan dari daging rusa tampaknya makin bertambah.

05 September 2010

Menegpora: PON Riau Akan Sukses

pembangunan-stadion utama pon XVIII riau 2012Menteri Pemuda dan Olahraga (Menegpora) Andi Alfian Mallarangeng yakin penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII Riau 2012 nanti akan sukses. Seperti dikutip dari Harian Riau Pos, hal ini diutarakan Menegpora saat meninjau kesiapaan Riau untuk PON XVIII 2012 pada Jumat (3/9/2010) lalu.

Kepada Riau Pos Andi mengungkapkan:
Saya optimis Riau akan sukses melaksanakan PON XVIII akan datang. Kita lihat saja pembangunan venues sudah sangat meyakinkan dan semuanya berjalan dengan baik. Namun tidak hanya sukses sebagai pelaksana bisa-bisa Riau juga sukses dalam prestasi


Pernyataan ini dilontarkannya usai melihat venes dan stadion Utama PON XVIII 2012 yang berstandar Internasional dibangun di komplek kampus Universitas Riau.

Rasa kagum Menegpora terlihat saat didampingi Gubernur Riau Dr HM Rusli Zainal SE MP, Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit, Sekdaprov Riau Wan Syamsir Yus melihat langsung kondisi kesiapan venus. Di main stadium, pembangunan terlihat terus digesa dengan berbagai alat berat yang saat ini pembangunanya sudah mencapai 42 persen. Setelah itu, Menegpora berkesempatan mengunjungai Gelanggang Remaja di Jalan Sudirman Pekanbaru yang akan dipergunakan untuk pertandingan bulutangkis.

Jika tahun 2010 ini saja Riau mampu menyelesaikan 85 persen venus PON XVIII, maka Menegpora yakin Riau akan sukses menyelenggarakan event empat tahuanan ini.

Andi kepada Media menyatakan:
Riau begitu maksimal mempersiapkan diri. Kita berikan apresiasi yang lebih dengan usaha ini. Namun saya lihat tidak hanya infrastruktur saja yang dipersiapkan, atlet juga sudah mulai. Apa yang menjadi komitmen pusat untuk memajukan olahraga benar-benar dilaksanakan di Riau ini. Karena itu saya begitu yakin dengan Riau saat ini


Komentar: Jika Mentri olahraga sudah yakin, apalagi masyarakat. Ayo kita sukseskan PON XVIII Riau 2012!

Foto: Riau Pos

Banyak Dibaca